Dolar AS Diproyeksi Melemah Terhadap Yuan China Di Tengah Ketakutan Gelombang Kedua Corona
Selain itu, terdapat lonjakan pasien terinfeksi di kota Beijing dalam beberapa pekan terakhir, karena lebih dari 200 kasus
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Kepala Strategi Makro Deutsche Bank Asia, Sameer Goel mengatakan dolar Amerika Serikat (AS) berpotensi melemah terhadap mata uang lainnya, termasuk yuan Tiongkok, jika kasus virus corona (Covid-19) kembali muncul.
Dalam program 'Street Signs' CNBC, ia menjelaskan bahwa pasar mata uang saat ini berhadapan dengan berbagai arus silang karena kekhawatiran terjadinya gelombang kedua corona.
Dikutip dari laman Sputnik News, Selasa (23/6/2020), tanggapan Goel ini menyusul temuan sebanyak lebih dari 30.000 kasus corona baru dilaporkan terjadi di AS pada akhir pekan lalu.
Selain itu, terdapat lonjakan pasien terinfeksi di kota Beijing dalam beberapa pekan terakhir, karena lebih dari 200 kasus corona dilaporkan ditemukan di sana sejak 11 Juni 2020.
Indeks dolar AS, yang merupakan nilai dolar relatif terhadap berbagai mata uang asing, berada di 97,00 pada Senin sore dan telah meningkat sejak awal Juni 2020, ketika mendekati 96,5.
Baca: Rupiah Hari Ini, Selasa 23 Juni 2020 Melemah ke Rp 14.265 per Dolar AS, Berikut Kurs di 5 Bank
Baca: Juragan Beras di Mojokerto Ditipu Pembeli, Pelaku Menunjukan Setoran Bank yang Ternyata Fiktif
Baca: OJK Pastikan Rasio Kecukupan Modal Bank Aman
Indeks kemudian mengalami penurunan saat dolar AS melemah terhadap mata uang lainnya.
Menurut Goel, permintaan darurat terhadap dolar tampaknya berkurang, meskipun dolar AS adalah mata uang cadangan dunia dan biasanya diandalkan oleh investor selama masa-masa yang tidak pasti seperti pandemi saat ini.
Ia kemudian meramalkan bahwa yuan China akan memiliki masa depan yang lebih baik dibandingkan dolar AS.
Pada hari Senin kemarin, yuan diperdagangkan pada 7,06 per dolar.
"Kami telah melihat yuan relatif stabil," jelas Goel.
Federal Reserve AS mengungkapkan pada dua minggu lalu bahwa pihaknya berencana untuk mempertahankan suku bunga mendekati nol, saat AS terus bergulat menghadapi pandemi corona.
Namun, Goel mencatat bahwa hubungan yang buruk antara AS dan China menjelang pemilihan AS 2020 pada bulan November mendatang, dapat berdampak negatif terhadap mata uang China.
"Saya pikir itu satu-satunya hal yang bisa menahan mata uang China," pungkas Goel.