Petani Tembakau Temui Anggota DPR, Bahas Rencana Kenaikan Cukai Rokok
Kebijakan kenaikan dan simplifikasi cukai hanya akan berdampak pada turunnya harga tembakau di tanah air yang merugikan masyarakat petani tembakau.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat petani tembakau yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk menolak rencana pemerintah khususnya Kementerian Keuangan yang akan menaikkan dan melakukan simplifikasi pemungutan cukai rokok di tahun 2021 mendatang.
Kebijakan kenaikan dan simplifikasi (penyederhanaan) cukai hanya akan berdampak pada turunnya harga tembakau di tanah air yang merugikan masyarakat petani tembakau.
Selain itu kalau sampai diberlakukan simpifikasi cukai rokok hal itu hanya akan menguntungkan satu perusahaan besar asing dan tentunya sangat merugikan para petani tembakau di Indonesia
Hal tersebut disampaikan pengurus APTI yang juga Ketua APTI Jawa Barat Suryana, usai memimpin organisasinya mengadakan pertemuan dengan anggot Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPR RI yang diwakili oleh Wakil Ketua Komisi IV DPR RI dari wilayah Jawa Timur Ibnu Multazam, di Gedung DPR RI, Kawasan Senayan Jakarta Pusat, Selasa (7/7/2020).
Hadir pada kesempatan tersebut pengurus APTI Jawa Barat lainnya antara lain Otong, Sambas dan Sutarja.
Baca: Presiden Joko Widodo Sudah Naikkan Tarif Cukai Rokok Sejak 2015, Berapa Total Persentasenya?
Baca: Sambut 2020, Cukai Rokok Resmi Naik, Harga Rokok Eceran Akan Naik 35 Persen
"Kenaikan cukai tembakau itu efek yang dirasakan petani sangat terasa karena harga tembakau anjlok dengan turunnya permintaan pabrikan. Bahkan, pengusaha cenderung tidak mau membeli tembakau yang dihasilkan petani lokal," ujar Ketua APTI Jawa Barat Suryana dalam keterangannya.
Terkait hal itu, pihaknya berharap ke depan pengusaha besar saling mengerti dengan para petani dimana pengusaha besar tidak akan bisa berjalan kalau tidak ada bahan baku dari petani.
"Begitu juga petani mengharapkan para pengusaha besar lebih maju karena otomatis akan berpengaruh terhadap penjualan tembakau dari petani lokal," papar Suryana.
Suryana menjelaskan, berdasarkan pengalaman tahun 2019 lalu, pemerintah menaikan cukai dan harga jual eceran (HJE) tembakau masing-masing sebesar 23 persen dan 35 persen telah membuat hasil panen petani temabaku selama 6 bulan tidak ada yang membeli.
Dari kasus tersebut, pihaknya mengambil kesimpulan pertama ada penuruna harga jual tembakau dari petani, kedua adanya penurunan produksi dan ketiga adanya penuruna volume.
"Kami sampaikan (kepada Fraksi PKB DPR RI) yang pertama kami menolak terhadap kenaikan cukai tahun 2021 karena dengan kenaikan cukai 23 persen & HJE 35 persen sangat memberatkan bagi para petani tembakau karena berimbas kepada penurunan harga jual tembakau," tegas Suryana.
Sedangkan penolakan terhadap rencana simplikasi pemungutan cukai, menurut Suryana, dikarenakan kebijakan tersebut direncanakan dan hanya menguntungkan satu pabrikan atau perusahaan rokok besar asing yang ada di Indonesia.
Hal tersebut pada akhirnya akan sangat merugikan para petani tembakau dan juga pabrik rokok lainnya.
"Jadi kami berpandangan bahwa satu perusahaan besar asing itu menginginkan penerapan simplifikasi terkait persaingan penjualan dengan perusahaan skala menengah. Jadi menurut kami perusahaan besar tersebut merasa takut tersaingi. Bisa dibilang itu salah satu strategi perang dagang," urai Ketua APTI Jawa Barat Suryana.
Baca: Pemerintah Diminta Jaga dan Lindungi Industri yang Masih Bertahan, Termasuk Industri Tembakau
Baca: Kebijakan Pajak dan Cukai Produk Tembakau Alternatif Perlu Disesuaikan