Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Utang Luar Negeri Indonesia Tumbuh 5 Persen, Sentuh Angka Rp 6.047 Triliun

Peningkatan utang tersebut disebabkan oleh transaksi penarikan netto utang luar negeri baik pemerintah maupun swasta.

Editor: Dewi Agustina
zoom-in Utang Luar Negeri Indonesia Tumbuh 5 Persen, Sentuh Angka Rp 6.047 Triliun
IST
Ilustrasi Utang 

Disisi lain, ULN pemerintah tetap dikelola secara hati-hati dan akuntabel untuk mendukung belanja prioritas, di antaranya mencakup sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial sebesar 23,5 persen dari total ULN pemerintah, serta sektor konstruksi 16,4 persen.

Baca: Naik Terus, Utang Luar Negeri Indonesia Tembus Rp 5.600 Triliun Lebih

Selain itu, sektor jasa pendidikan 16,3 persen, sektor jasa keuangan dan asuransi 12,4 persen, serta sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib 11,7 persen.

Kemudian pada akhir kuartal II 2020, utang luar negeri perusahaan bukan lembaga keuangan melesat menjadi 11,4 persen pada kuartal II 2020 dibanding periode sama tahun lalu (year on year/yoy).

Sementara, dia menambahkan, utang luar negeri lembaga keuangan terkontraksi 1,7 persen pada kuartal II 2020 (yoy), lebih rendah dari kontraksi 2,4 persen (yoy) pada kuartal sebelumnya.

Adapun, beberapa sektor dengan pangsa utang luar negeri terbesar yakni mencapai 77,3 persen dari total utang luar negeri swasta adalah sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor pengadaan listrik, gas, uap atau air panas dan udara dingin (LGA), sektor pertambangan dan penggalian, dan sektor industri pengolahan.

"Struktur ULN Indonesia tetap sehat, didukung dengan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya," ujar Onny.

Sementara itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan, pemerintah memutuskan untuk melonggarkan kebijakan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 menjadi 5,5 persen.

Ilustrasi Utang
Ilustrasi Utang (Pexels)
BERITA REKOMENDASI

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, asumsi defisit ini lebih besar dari pembahasan sebelumnya bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena faktor pandemi Covid-19.

"Penetapan defisit 5,5 persen ditetapkan karena kita masih melihat Covid-19 masih akan berlangsung sampai tahun depan. Karena itu, kebutuhan untuk pemulihan ekonomi, ekspansi fiskal, serta mendukung pemulihan dan penanganan kesehatan masih dirasakan penting," ujarnya.

Dari sisi pendapatan negara, kata Sri Mulyani, pemerintah masih memperkirakan akan mengalami tekanan untuk memberikan insentif pemulihan ekonomi. "Karena itu, target dari penerimaan negara dari perpajakan memang dibuat tidak terlalu tinggi," katanya.

Disisi lain, eks direktur pelaksana Bank Dunia itu menambahkan, belanja negara tetap memprioritaskan untuk mendukung program bantuan sosial (bansos).

"Belanja negara, kita akan tetap mendukung program-program bansos untuk akselerasi pemulihan ekonomi, terutama untuk daya beli masyarakat paling rendah dan akses untuk UMKM dan koperasi melalui subsidi bunga KUR," ujar Sri Mulyani.

Pemerintah lanjut bendahara negara akan tetap menjaga angka kemiskinan satu digit atau 9,2 persen hingga 9,7 persen pada 2021. Kendati single digit, proyeksi tingkat kemiskinan mengalami kenaikan dari perkiraan 8,5 persen hingga 9 persen pada 2020.

Baca: Utang Luar Negeri RI Kini Mencapai Rp 5.526,8 triliun

"Namun, kita akan tetap menjaga pada level single digit. Kita pernah angka kemiskinan mencapai 9,4 persen tahun 2019 dan sampai awal tahun 2020 naik ke 9,78 persen karena adanya Covid-19," ujar Sri Mulyani.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas