Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Pakar Penerbangan Nilai Keluarga Penumpang SJ-182 Perlu Didampingi Pengacara Spesialis Penerbangan

ganti kerugian atau kompensasi dari pengangkut ini tidak mengurangi dan tidak melepaskan pihak- pihak lain yang diduga turut bertanggung jawab

Penulis: Reynas Abdila
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
zoom-in Pakar Penerbangan Nilai Keluarga Penumpang SJ-182 Perlu Didampingi Pengacara Spesialis Penerbangan
Reynas Abdila/Tribunnews
Pakar Penerbangan Prof Dr Ahmad Sudiro. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dekan dan Guru Besar FH Universitas Tarumanegara yang juga pakar penerbangan Prof Dr Ahmad Sudiro mengatakan dalam peristiwa kecelakan pesawat Sriwijaya SJ-182 terdapat hak-hak ahli waris korban yang harus diperhatikan dan dipenuhi oleh para pihak yang dianggap bertanggung jawab.

Menurutnya, ganti kerugian atau kompensasi sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan penerbangan atau pengangkut terhadap ahli waris korban kecelakaan pesawat sesuai dengan Pasal 141 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, dan Pasal 2 jo Pasal 3 Peraruran Menteri Perhubungan (PerMenHub) No. PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, serta ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK).

“Namun ganti kerugian atau kompensasi dari pengangkut ini tidak mengurangi dan tidak melepaskan pihak- pihak lain yang diduga turut bertanggung jawab juga untuk tetap dituntut ganti kerugian atas terjadinya kecelakaan pesawat Sriwijaya SJ-182 jenis Boeing 737- 500 tersebut,” kata Ahmad di Jakarta, Sabtu (23/1/2021).

Baca juga: Ahli Waris Korban Sriwijaya Air dapat Santunan 48 Kali Upah dari BPJS Ketenagakerjaan

Ahmad menambahkan sudah ada aturan Menteri Perhubungan terkait kompensasi yang harus diberikan keluarga penumpang pesawat yang mengalami kecelakaan.

Permenhub No. 77 Tahun 2011 Bab VI Pasal 23 berbunyi besaran ganti kerugian yang diatur dalam peraturan ini tidak menutup kesempatan kepada penumpang, ahli waris, penerima kargo, atau pihak ketiga untuk menuntut pengangkut ke pengadilan negeri di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau melalui abritrase atau alternatif penyelesaian sengketa lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Baca juga: Keluarga Korban Sriwijaya Air SJ-182 Laksanakan Salat Jumat di KRI Semarang Usai Tabur Bunga

Ahmad menjelaskan ada sejumlah pelajaran yang bisa diambil dari kejadian jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 pada 29 Oktober 2018.

BERITA REKOMENDASI

Ketika itu, ada empat hal yang harus dihadapi keluarga/ahli waris penumpang pesawat Lion Air JT 610.

Pertama, keluarga tanpa pendampingan ahli hukum atau pengacara, secara sepihak diarahkan oleh pihak maskapai untuk memberikan pelepasan dan pembebasan dari sanksi perdata maupun pidana kepada pihak maskapai dan pabrikan pesawat untuk menerima santunan sebesar Rp1,25 juta ditambah Rp50 juta ekstra santunan dari maskapai dan pabrikan pesawat terbang.

Kedua, para keluarga yang oleh karena terdesak kebutuhan maka menerima dana santunan Rp1,3 miliar.

Ketiga, dengan menerima dan menandatangani R&D (Release and Discharge dengan terjemahan bebasnya adalah PELEPASAN dan PEMBEBASAN) pihak keluarga dan ahli waris tidak bisa menuntut baik pidana maupun perdata kepada maskapai penerbangan dan pabrikan pesawat beserta sekitar 1.000 supplier dan subkontraktor dari pabrikan pesawat di Amerika Serikat.

Keempat, banyak keluarga yang terlanjur menandatangani R&D mengalami kesedihan kedua kalinya karena tidak bisa mendapatkan santunan dari pihak pabrikan pesawat di Amerika Serikat menurut Undang-Undang Amerika Serikat.


“Fakta hukum para keluarga korban yang tidak menandatangani R&D dapat dengan mudah mengajukan tuntutan kepada perusahaan pabrikan pesawat di Amerika Serikat. Dalam pengajuan klaim di Amerika Serikat berdasarkan perundang-undangan hukum yang berlaku di sana, keluarga bisa mendapatkan santunan dalam jumlah yang sangat layak. Tentu harus diwakili oleh pengacara yang berasal dari Amerika Serikat,” jelasnya.

Namun, lanjut Ahmad, keluarga korban yang terlanjur menandatangani R&D pun bisa menuntut ke pabrikan pesawat di Amerika Serikat akan tetapi mendapatkan santunan yang besarnya hanya sekitar 30 persen dibanding mereka yang menolak menandatangani R&D.

Hal ini perlu menjadi pertimbangan bagi para keluarga korban secara logis di tengah kedukaan yang sangat dalam yang dialami saat ini.

“Karena itu, memilih pengacara yang memiliki pengalaman dalam menangani kasus penerbangan seperti ini akan sangat membantu perlindungan hak perdata bagi keluarga dan ahli waris korban secara aman baik untuk kepentingan hukum di Indonesia maupun di Amerika Serikat,” tuturnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas