Klaster Perpajakan UU Cipta Kerja Dinilai Memberikan Angin Segar Bagi Pelaku UMKM
Besaran bunga per bulan dan denda ditetapkan Menteri keuangan (Menkeu) lewat PMK (peraturan menteri keuangan) setiap bulannya.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Meski Sempat menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, Undang – undang Omnibuslaw atau Cipta Kerja (UU CK) khususnya klaster perpajakan dinilai memberikan angin segar, meringankan beban sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Sekaligus juga dapat mendukung pengembangan dunia usaha di tanah air.
Salah satu peraturan yang dianggap cukup membantu UMKM dan pengembangan usaha itu adalah peraturan yang menyebutkan bahwa pemerintah akan menerapkan pengaturan ulang sanksi bunga atas kekurangan bayar karena pembetulan surat pajak terhutang (SPT) tahunan dan SPT Masa yang saat ini tarifnya sebesar 2% perbulan dari pajak kurang dibayar. Pemerintah menurunkan sanksi denda menjadi 1%.
Relaksasi bagi hak untuk kredit pajak pengusaha kena pajak (PKP) menjadi suku bunga acuan ditambah 5% dibagi 12 bulan (suku bunga acuan + 5%)/12 bulan.
Besaran bunga per bulan dan denda ditetapkan Menteri keuangan (Menkeu) lewat PMK (peraturan menteri keuangan) setiap bulannya.
Baca juga: Peraturan Pelaksanaan UU Cipta Kerja Segera Rampung
Penurunan besaran sangsi denda pajak juga berlaku bagi perusahaan kena pajak ( PKP) yang tidak membuat Faktur Pajak atau membuat Faktur Pajak tidak tepat waktu yang saat ini dikenakan 2% dari dasar pengenaan pajak.
Dendanya akan diturunkan sebesar 1% dari dasar pengenaan pajak.
Selanjutnya, sanksi denda bagi pengusaha yang tidak lapor usaha untuk dikukuhkan menjadi PKP saat ini tidak dikenakan sanksi, namun nanti akan dikenakan sangsi sebesar 1% dari dasar pengenaan pajak untuk kesetaraan dengan PKP yang tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tidak tepat waktu.
Hal ini disampaikan dosen Program Studi (Prodi) Administrasi Bisnis Fakultas Ilmu Administrasi Institut Ilmu Sosial dan Manajemen STIAMI yang juga Sekretaris Komisi I Dewan Riset Daerah (DRD) Provinsi DKI Jakarta, Eman Sulaeman Nasim dan analist Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu yang dosen PKN STAN Wahyu Hidaya, dalam seminar Perpajakan yang diselenggarakan kelas P 504 Prodi III Pajak Politeknik Keuangan Negara (PKN) STAN, Senin (1/2/2021).
Seminar online nasional yang mengambil tema “Dampak Kebijakan Omnibuslaw Terhadap Peraturan Perpajakan Yang Berlaku Saat ini: Penerimaan dan Kepatuhan Wajib Pajak" ini diikuti ratusan peserta baik yang berprofesi sebagai pelaku usaha, dosen dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di berbagai pelosok di Pulau Jawa.
“Jika di aturan sebelumnya, wajib pajak yang terlambat membuat faktur atau terlambat membayar PPN maupun PPH karena satu dan lain hal dikenai denda pajak. Jika denda pajaknya tidak dibayar, maka denda tersebut akan berbunga. Ini sangat memberatkan wajib pajak, apalagi wajib pajak UMKM," papar Dosen Prodi Administrasi Bisnis Institut STIAMI Eman Sulaeman Nasim.
Namun di UU Omnibuslaw klaster perpajakan, pasal tersebut dihapus. Diganti dengan denda satu persen. Dan jika dendanya belum dibayar, makan bunga atas denda pajak tersebut bukan 2 persen.
"Tapi mengikuti suku bunga bank. Besarannya akan ditentukan oleh Menteri Keuangan. Ini lebih meringankan wajib pajak. Dibandingkan wajib pajak masih terus kena denda pajak. Jika denda pajaknya tidak dibayar dikenai bunga yang cukup besar,” ujar Sulaeman Nasim.
Meskipun demikian, sebagai salah seorang wajib pajak, Eman S Nasim menghimbau pemerintah khususnya pihak DItjen Pajak tidak mengenakan bunga atas denda pajak yang belum dibayarkan para wajib pajak.