Kata Analis Soal Penyebab Jebloknya Kinerja 2020 dan Prospek Saham Bank BUMN di 2021
Anjloknya laba bersih ketiga bank BUMN itu dipicu membengkaknya biaya cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) atau provisi.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tak bisa dipungkiri, Pandemi covid-19 yang masih terus terjadi membuat sejumlah industri di sektor jasa keuangan di Tanah Air terpuruk.
Industri perbankan pun terdampak.
Sejak wabah Covid-19 masuk ke Nusantara pada Maret 2020, industri perbankan sulit untuk menggenjot kinerjanya.
Alhasil, di tahun lalu, kinerja sejumlah bank mencetak rapor merah.
Baca juga: Himbara Salurkan Dana Pemulihan Ekonomi Nasional Rp 192,24 Triliun ke 28,91 Juta Penerima
Kondisi itu tercermin dalam laporan keuangan tahunan yang dirilis sejumlah bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Di antaranya PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) dan PT Bank Mandiri Tbk (Mandiri).
Pada tahun 2020, laba bersih ketiga bank pelat merah yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) tersebut, merosot dibandingkan tahun sebelumnya.
Anjloknya laba bersih ketiga bank BUMN itu dipicu membengkaknya biaya cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) atau provisi.
Baca juga: Wamen BUMN: Realisasi Restrukturisasi Kredit Bank Himbara Paling Masif Sebesar RP490 Triliun
Suria Dharma, Kepala Riset Samuel Sekuritas mengatakan, melonjaknya biaya provisi disebabkan adanya upaya dari bank untuk mengantisipasi munculnya kredit macet karena tekanan pandemi.
"Bank-bank BUMN membentuk provisi untuk mengantisipasi kredit macet. Ini yang membuat laba bersih mereka turun di 2020," ujar Suria, Selasa (2/2).
Perbankan, lanjut Suria, memang tidak salah untuk meningkatkan CKPN.
Sebab, risiko kredit di sepanjang tahun lalu memang cukup tinggi.
Banyak debitur bank, terutama para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) kesulitan membayar cicilan kredit lantaran bisnisnya terkena imbas pandemi Covid-19.
Meskipun, program restrukturisasi kredit telah digulirkan oleh bank. OJK mencatat, sejak diluncurkan pada 16 Maret 2020 hingga akhir Desember 2020, program restrukturisasi kredit perbankan telah mencapai nilai Rp 971 triliun.
Program restrukturisasi ini diberikan kepada 7,6 juta debitur atau sekitar 18% dari total kredit perbankan.
Sejalan dengan besarnya nilai kredit yang direstrukturisasi, kata Suria, maka laba bersih bank-bank BUMN pun ikut tergerus.
Contohnya PT Bank Negara Indonesia Tbk {BNI) yang di tahun lalu laba bersihnya jatuh cukup dalam menjadi Rp 3,28 triliun, turun 78,7% dibandingkan tahun 2019 sebesar Rp 15,38 triliun. Begitu pula dengan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI).
Pada tahun lalu, laba bersih bank wong cilik ini terkikis hampir separuhnya, yakni 45,8% menjadi Rp 18,66 triliun dibandingkan 2019 sebesar Rp 34,41 triliun. Penurunan laba bersih juga dialami PT Bank Mandiri Tbk (Mandiri).
Kebijakan vaksinasi
Namun, berbeda dengan kedua saudaranya, nasib bank berlogo pita emas ini masih lebih baik.
Laba bersihnya terkoreksi lebih kecil dibandingkan yang lain, yakni 37,71% menjadi Rp 17,71 triliun di 2020. Pada 2019, laba bersih Bank Mandiri masih tercatat Rp 27,48 triliun.
Penurunan penyaluran kredit Bank Mandiri di 2020 juga hanya 1,61%, jauh lebih baik ketimbang kontraksi yang dialami perbankan nasional sebesar 2,41%.
Baca juga: KSP Sebut Pemulihan Ekonomi Indonesia Bergerak Positif, Tapi . . .
"Bank Mandiri tahun lalu agresif dalam mengembangkan layanan digital untuk kanal penyaluran kredit. Ini memberikan efek positif terhadap penyaluran kredit perseroan," kata Kiswoyo Adi Joe, Head of Investment Reswara Gian Investa.
Kiswoyo menambahkan, pada tahun 2021 ini, penyaluran kredit perbankan bisa jauh lebih baik dibandingkan tahun 2020.
Salah satu pemicunya, adanya kebijakan vaksinasi yang diterapkan pemerintah.
Indonesia merupakan salah satu dari 40 negara yang melakukan vaksinasi Covid-19 terlebih dahulu dibandingkan negara-negara lainnya.
"Kebijakan vaksinasi ini akan meningkatkan kepercayaan pasar. Jadi, pertumbuhan ekonomi di tahun 2021 seharusnya sudah bisa plus di kuartal pertama ini," imbuh Kiswoyo.
Baca juga: Penurunan Pertumbuhan Ekonomi Tertajam Sejak Perang Dunia II, Amerika Serikat Kian Hancur?
Seiring dengan membaiknya perekonomian, industri perbankan diproyeksi juga akan kembali pulih.
Kinerja perbankan, terutama dari sisi laba, bakal ikut terdongkrak.
Apalagi, kata Kiswoyo, di tahun 2020, banyak bank sudah melakukan pencadangan kerugian dalam jumlah besar.
Karena itu, menurut Kiswoyo, saham-saham bank Himbara masih layak koleksi.
Dia menyebut, saham Bank BNI (BBNI), BRI (BBRI), dan Bank Mandiri (BMRI) masih akan terus mendaki.
"Saya merekomendasikan buy untuk saham BBNI dengan target harga hingga akhi tahun ini Rp 7.000, BBRI Rp 5.000 dan BMRI Rp 8.000," kata Kiswoyo.
Senada dengan Kiswoyo, Suria Dharma juga merekomendasikan buy untuk saham emiten bank Himbara.
Untuk saham BBNI, Suria memproyeksi target harga saham bank berlogo 46 ini ada di level Rp 8.500, BBRI Rp 5.700 dan BMRI Rp 8.000.
"Kebijakan vaksinasi Covid-19 akan mendukung pergerakan harga saham emiten perbankan," tandas Suria.