Menteri Erick Keluhkan Biaya Sewa Pesawat Garuda Mahal
Selama 8 tahun mengoperasional Bombardier CRJ1000, perseroan mengalami kerugian rata-rata 30 juta dollar AS per tahun
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Bambang Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, keluhkan harga sewa pesawat Garuda Indonesia terlalu mahal dan termasuk paling tinggi di dunia.
"Kita melihat bahwa Garuda itu salah satu perusahaan (maskapai) penerbangan yang leasing-nya paling tinggi di dunia.
Cost leasing-nya 27 persen,” jelas Menteri Erick dalam video conference, Rabu (10/2/2021).
Dari adanya permasalahan tersebut, Erick pun meminta kepada Garuda Indonesia untuk segera melakukan pembicaraan kepada pihak leasing sehingga kedepannya bisa memberikan keuntungan yang sebanding.
Adanya keputusan Menteri Erick juga bagian dari langkah dan upaya maskapai dalam melakukan efisiensi.
“Konsep leasingnya sedang kita perbaiki, supaya sama-sama untung,” kata Erick.
Baca juga: Usai Dapat Rp 1 Triliun, Saham Garuda Ditutup Stagnan pada Rabu Sore
Sebelumnya, Menteri Erick Thohir memastikan maskapai Garuda Indonesia mengakhiri kontrak pembelian pesawat Bombardier CRJ1000 yang dilakukan oleh Garuda Indonesia terhadap dua perusahaan leasing.
Dimana diketahui, terdapat dua leasing yang berkontrak dengan Garuda Indonesia terkait pembelian pesawat tersebut yakni Nordic Aviation Capital (NAC) dengan 12 pesawat, dan Eksport Develpoment Canada (EDC) dengan 6 pesawat.
Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra mengklaim, pihaknya mengalami kerugian imbas dari pengoperasian pesawat Bombardier CRJ1000.
Alasan kerugian tersebut yang membuat pihaknya mengembalikan 12 pesawat Bombardier CRJ1000 ke perusahaan leasing.
Menurutnya, selama 8 tahun operasional, perseroan mengalami kerugian rata-rata 30 juta dollar AS per tahun akibat penggunaan pesawat jenis tersebut.
Baca juga: Garuda Indonesia Selesaikan Proses Pencairan Dana Hasil OWK Sebesar Rp 1 Triliun
Ia membeberkan, sewa pesawat sendiri hanya sekitar 27 juta dollar AS.
"Setelah digunakan beberapa tahun, sepertinya tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada di pasar Indonesia. Kami mengalami kerugian dengan menggunakan pesawat ini," ujar Irfan.