Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Butuh Waktu untuk Temukan Solusi Atasi Gejolak Baru Harga Kedelai di Pasar

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, kebutuhan impor kedelai sepanjang 2021 diperkirakan mencapai 2,6 juta ton.

Editor: Choirul Arifin
zoom-in Butuh Waktu untuk Temukan Solusi Atasi Gejolak Baru Harga Kedelai di Pasar
IST
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, kebutuhan impor kedelai sepanjang 2021 diperkirakan mencapai 2,6 juta ton. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Selama beberapa bulan terakhir, masyarakat di Tanah Air seperti dihujani oleh pemberitaan soal importasi bahan pangan. Yang terbaru adalah polemik perihal rencana impor beras oleh pemerintah di tengah periode panen raya yang akan berlangsung di dalam negeri.

Di tengah polemik terkait rencana impor yang cukup membuat gaduh, masyarakat dalam waktu dekat diprediksi juga akan kembali direpotkan oleh potensi kenaikan harga bahan pangan lainnya, yakni kedelai.

Setidaknya prediksi kenaikan harga bahan baku tempe, tahu dan kecap ini telah disampaikan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi pertengahan Januari 2021 lalu.

Saat itu menteri perdagangan memproyeksikan harga komoditas kedelai baru akan memasuki periode kestabilan harga pada pertengahan tahun ini. Bahkan ia menyebut fluktuasi harga masih bisa terjadi hingga Mei 2021.

Menanggapi potensi kenaikan harga produk kedelai akibat masih fluktuatifnya pasokan di pasar global, pengamat ketahanan pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Prima Gandhi menyebut, maka permasalahan terkait fluktuasi harga di domestik merupakan sebuah konsekuensi logis yang dipastikan akan terus berulang.

Karena Indonesia masih bergantung pada pasokan impor untuk memenuhi kebutuhan kedelai di pasar domestik.

Pasalnya negara-negara penghasil kedelai pun tengah menghadapi ancaman keterbatasan pangan di tengah masa pandemi Covid-19 saat ini.

Berita Rekomendasi

“Bagi negara-negara pengekspor kedelai, di saat pandemi yang belum jelas kapan akan usai ini, mereka tentu akan memilih untuk mengamankan permintaan dalam negeri dulu. Dan menyimpan stok untuk memenuhi demand di dalam negeri,” ujar Prima.

Terkereknya harga kedelai di pasar dalam negeri tidak bisa dilepaskan dari ketergantungan terhadap kedelai impor.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, kebutuhan impor kedelai sepanjang 2021 diperkirakan mencapai 2,6 juta ton.

Volume ini hanya mencakup kedelai untuk kebutuhan konsumsi (produksi tahu dan tempe) dan di luar kebutuhan bungkil kedelai untuk industri pakan.

Baca juga: Harga Kedelai Terus Melonjak Tak Terkendali, PSI Tagih Janji Kementan

Kenaikan harga pada Januari lalu dipicu tingginya permintaan dunia, menyusul gangguan cuaca di sejumlah negara penghasil utama kedelai, dan ditingkahi dengan kondisi perekonomian dunia.

Saat itu terjadi gangguan cuaca di Amerika Latin berupa Iklim La Nina di Brazil dan Argentina yang menyebabkan kondisi kekeringan sehingga penanaman kedelai mundur dan produksi turun.

Baca juga: Ketua DPD RI Optimis Pengembangan Varietas Unggul Bisa Tutupi Defisit Kedelai

Argentina pun sempat diwarnai oleh aksi mogok pada sektor distribusi dan pelabuhannya.

Di kawasan Asia, Tiongkok yang tingkat demand kedelai untuk pakan ternaknya sempat melandai akibat merebaknya flu babi, belakangan kembali bangkit ketika pandemi ternak tersebut berhasil diatasi.

Baca juga: Mentan Bingung Disalahkan Soal Mahalnya Harga Kedelai dan Daging Sapi 

Awal 2021 lalu, pembelian kedelai Tiongkok ke AS meningkat menjadi 28 juta ton dari sebelumnya 15 juta ton.

Untuk bergerak ke arah swasembada, seperti halnya yang telah diamanatkan oleh Presiden Joko Widodo, Prima Gandhi menyatakan bisa saja diupayakan dengan dibarengi sinkronisasi data seputar supply dan demand plus diikuti kejelasan seputar masa depan komoditas kedelai.

Hal ini penting untuk memikat petani agar bersedia menanam kedelai.

“Pemerintah bisa memetakan kebutuhan riil kedelai. Dan karena kedelai tidak dikonsumsi rumah tangga secara langsung, bisa diketahui secara presisi kebutuhan di dalam negeri lewat koperasi-koperasi pengrajin tahu dan tempe,” ujar Prima.

Dengan memberikan kepastian pada dua faktor tadi, berikutnya bisa dimulai untuk memanfaatkan lahan-lahan kosong yang dimiliki tiap pemerintah daerah, untuk dijadikan sentra komoditas kedelai.

Prima mengatakan, Indonesia memiliki sejumlah lembaga riset yang mampu menciptakan varietas-varietas kedelai yang layak ditanami sesuai dengan kondisi geografis tiap daerah.

“Di IPB pun sudah ada sejumlah varietas unggul yang siap dibudidayakan,” ujarnya.

Namun Prima menggarisbawahi pentingnya upaya mendekatkan jarak antara sentra komoditas kedelai dan pusat industri pengrajin tahu, tempe maupun kecap sebagai pasar utama.

Di sinilah dibutuhkan akurasi data pasar dan demand produk kedelai. Dengan kedekatan antara sentra komoditas kedelai dengan para pengrajinnya, tentunya akan didapatkan tingkat cost yang lebih rendah di sisi distribusi.

Keamanan pasokan pun bisa terjamin karena para petani kedelai tahu secara pasti berapa volume kedelai yang dibutuhkan oleh para pengrajin di daerah mereka masing-masing.

“Logika ekonomi yang sederhana, satu daerah bisa mencukupi kebutuhan mereka sendiri akan meningkatkan efisiensi produk,” ujarnya.

Namun demikian, Prima menyebut upaya ini bukan hal yang bisa dilakukan seperti membalik telapak tangan. Dibutuhkan waktu untuk menciptakan skema budi daya kedelai yang kondusif bagi petani dan konsumen.

Sebelum hal itu tercapai, maka pemenuhan kebutuhan pasar domestik dengan cara impor masih menjadi sebuah keniscayaan.

Sementara, soal rendahnya minat petani menanam kedelai, dikatakan Ketum Gakoptindo Aip Syarifuddin disebabkan oleh faktor rendahnya yield yang didapat petani jika mereka membudidayakan kedelai.

Sehingga tingginya harga kedelai sejatinya memang diakibatkan oleh keterbatasan pasokan yang berasal dari dalam negeri, serta tingginya kebutuhan di sejumlah negara importir besar seperti Tiongkok.

Aip menyebut lahan dengan tanaman kedelai seluas 1 hektare di Indonesia hanya mampu menghasilkan 1,5 ton – 2,5 ton kedelai, atau rata-rata 2 ton per hektare.

Sementara harga jual selama ini masih tertekan di kisaran Rp8.000 per kg akibat standardisasi produk kedelai lokal yang belum terpenuhi oleh petani.

“Kita mau beli, tapi harus bersih seperti kedelai impor. Jangan ada daun, batang, tanah, dan sebagainya,” kata Aip.

Tingkat income yang didapat petani kedelai untuk 1 hektare lahan pun masih jauh lebih rendah jika mereka membudidayakan komoditas di luar kedelai, seperti padi dan jagung.

Jika hasil produksi rata-rata 2 ton dengan harga Rp 8.500 per kilogramnya, maka para petani kedelai hanya menikmati income Rp17 juta untuk periode 100 hari tanam.

Sementara jika mereka menanam padi, bisa dihasilkan beras sekira 5-6 ton, dengan income sebesar Rp 50 juta sampai Rp 60 juta.

“Jadi ini memang harus diawali oleh program pemerintah. Kementerian pertanian bisa mencari lahan, dan ditanami kedelai, sehingga nantinya bisa diciptakan soy estate. Dan berikutnya besaran impor bisa ditekan secara perlahan,” kata Aip.

Sekedar catatan, di akhir tahun 2020 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kenaikan harga kedelai impor telah memberikan kontribusi pada inflasi produk tahu dan tempe.

Masing-masing mengalami inflasi sebesar 0,06% dan 0,05% secara bulanan (month to month/mtm).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas