BPK Khawatir Pemerintah Tak Bisa Bayar Utang dan Bunganya, Ini Tanggapan Komisi XI
Ketua BPK menilai tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga telah melampui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna menyatakan kekhawatirannya terhadap kemampuan pemerintah dalam membayar utang dan bunganya. Hal tersebut disampaikannya dalam pidato pada Rapat Paripurna DPR-RI, Selasa (22/6).
Lebih lanjut, Ketua BPK menilai tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga telah melampui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara.
Menanggapi pernyataan tersebut, anggota Komisi XI DPR-RI Heri Gunawan menyatakan hendaknya BPK melihat utang pemerintah secara komprehensif dalam kerangka penilaian laporan keuangan pemerintah secara keseluruhan.
“Ini kan aneh. Di satu sisi, BPK memberi penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap laporan keuangan pemerintah. Namun di sisi lain mengkhawatirkan utang pemerintah. Rakyat jadi bingung atas sikap mendua BPK,” ujar Heri Gunawan, kepada wartawan, Rabu (23/6/2021).
Baca juga: Utang Pemerintah Membumbung, Kepala Bappenas: Yang Melebihi Batas IMF Bukan Indonesia Saja
Perlu diketahui, Ketua BPK dalam pidato tersebut juga menyebut indikator kerentanan utang tahun 2020 melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan International Debt Relief (IDR).
Sepanjang tahun 2020, utang pemerintah sudah mencapai Rp 6.074,56 triliun. Posisi utang ini betul meningkat pesat dibandingkan dengan akhir tahun 2019 yang tercatat Rp 4.778 triliun.
Rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen. Angkanya melampaui rekomendasi IMF pada rentang 25-35 persen.
Begitu juga dengan pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-10 persen.
Kemudian, rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.
Tak hanya itu, indikator kesinambungan fiskal Tahun 2020 yang sebesar 4,27 persen juga melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411 - Debt Indicators yaitu di bawah 0 persen.
Baca juga: Pimpinan Komisi XI DPR Minta Bappenas Redesain Utang Luar Negeri dan Hibah agar Lebih Produktif
Selain itu, sepanjang tahun 2020, pendapatan negara dan hibah mencapai Rp 1.647,78 triliun atau 96,93 persen dari anggaran. Sedangkan realisasi belanjanya mencapai Rp 2.595,48 triliun atau 94,75 persen. Dengan demikian, fiskal mengalami defisit sebesar Rp 947,70 triliun atau sekitar 6,14 persen dari PDB.
Di sisi realisasi pembiayaan Tahun 2020 mencapai Rp1.193,29 triliun atau sebesar 125,91% dari nilai defisitnya sehingga terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp245,59 triliun. Artinya, pengadaan utang Tahun 2020 melebihi kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit.
“Memang pandemi Covid-19 telah meningkatkan defisit, utang, dan sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) yang berdampak pada pengelolaan fiskal, namun sebaiknya BPK juga perlu melihat UU No. 2 Tahun 2020 sebagai dasar hukum pembengkakan defisit tersebut,” jelas Ketua Kelompok Fraksi Gerindra Komisi XI DPR-RI itu.