Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Cerita Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, Dikejar-Kejar Orang World Bank Minta Persetujuan Utang Baru

Menteri Suharso Monoarfa tidak menyebut secara rinci program apa saja yang disodorkan pejabat Bank Dunia itu kepadanya. 

Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Choirul Arifin
zoom-in Cerita Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, Dikejar-Kejar Orang World Bank Minta Persetujuan Utang Baru
ist
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Suharso Monoarfa mengaku dikejar-kejar pejabat Bank Dunia dan diminta menyetujui semua program utang baru untuk Indonesia ang diusulkan Bank Dunia.

Namun, Suharso tidak menyebut secara rinci program apa saja yang disodorkan pejabat Bank Dunia itu kepadanya. 

"Saya tidak perlu sebut, tapi Word Bank misalnya mengejar Bappenas untuk menyetujui semua program," kata Suharso saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Rabu (23/6/2021).

Menurut Suharso, dalam pelaksanaan pinjaman luar negeri, Bappenas akan melihat program-program yang dilakukan dari hasil dana pinjaman. 

Baca juga: Defisit APBN 2021 Kian Bengkak, Per Mei Tembus Rp 219,3 Triliun, Pembiayaan Utang Rp 330,1 triliun

"Bappenas hanya melihat programnya saja, apakah patut atau tidak patut. Sejauh mana ini bagus dilakukan, kalau tidak cocok kami tolak, sama sekali saya bilang tidak bener ini," paparnya. 

Baca juga: Menkeu Nggak Perlu Sembunyikan Defisit APBN Lagi, Ekonom INDEF Usulkan Pakai Solusi Ini

"Jadi kami banyak menolak hibah, kami juga banyak menolak pinjaman," klaim Suharso Monoarfa

Berita Rekomendasi

Saat ini Indonesia mengantongi utang baru sekitar 1,7 miliar dolar AS atau sekitar Rp24,6 triliun (kurs Rp14.489 per dolar AS) dari Bank Dunia. Utang tersebut dikucurkan bertahap untuk mendukung tiga program pemerintah.

Baca juga: Ekonom Soroti Transparansi Menkeu soal Defisit APBN

Pertama, sebesar 400 juta dolar AS untuk mendukung reformasi demi memperdalam, meningkatkan efisiensi, dan memperkuat ketahanan sektor keuangan pada 11 Juni 2021.

Kedua, sebesar 800 juta dolar AS untuk mendanai reformasi kebijakan investasi dan perdagangan, serta membantu percepatan pemulihan ekonomi pada 16 Juni 2021.

Ketiga, 500 juta dolar AS untuk program penanganan pandemi Covid-19, termasuk penguatan sistem kesehatan dan program vaksinasi gratis dari pemerintah pada 19 Juni lalu.

BPK Was-was, Utang Terus Menggunung

Terkait bertambahnya utang baru Pemerintah ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengaudit laporan keuangan pemerintah pusat di era pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) tahun lalu, termasuk penggunaan APBN 2020.

BPK menyatakan kekhawatiran kesanggupan pemerintah dalam melunasi utang plus bunga yang terus membengkak sejak beberapa waktu terakhir.

Ketua BPK Agung Firman Sampurna berujar, utang pemerintah semakin jor-joran akibat merebaknya pandemi virus corona (Covid-19).

Pertumbuhan utang dan biaya bunga yang ditanggung pemerintah ini melampaui pertumbuhan PDB nasional.

"Meskipun rasio defisit dan utang terhadap PDB masih di bawah rasio yang ditetapkan dalam Perpres 72 dan UU Keuangan Negara, tapi trennya menunjukkan adanya peningkatan yang perlu diwaspadai pemerintah," kata Agung seperti dikutip dari Kompas TV pada Rabu (23/6/2021).

Lembaganya menyoroti kenaikan utang pemerintah Presiden Jokowi yang melebihi kebutuhan. Ia menjelaskan, realisasi pendapatan negara dan hibah di tahun 2020 sebesar Rp 1.647,78 triliun.

Kemudian realisasi belanja negara sebesar Rp 2.595,48 triliun, sehingga, defisit APBN mencapai Rp 947,7 triliun.

Untuk menutupi defisit, pemerintah menarik utang sebesar Rp 1.193,29 triliun.

Jumlah itu setara 125,91 persen dari nilai defisitnya. Akibatnya, terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp 245,59 triliun.

"Realisasi pembiayaan tersebut terutama diperoleh dari penerbitan Surat Berharga Negara, Pinjaman Dalam Negeri, dan Pembiayaan Luar Negeri Sebesar Rp 1.225,99 triliun, yang berarti pengadaan utang tahun 2020 melebihi kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit," kata Agung.

Mengkhawatirkan

Berdasarkan audit yang sudah dilakukan BPK, utang tahun 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan IMF atau International Debt Relief (IDR) yakni, 25-35 persen.

Sedangkan rasio debt service terhadap penerimaan APBN 2020 sebesar 46,77 persen. Begitu juga rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan di 2020 yang sebesar 19,06 persen.

Angka itu melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-19 persen.

Serta rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.

Ketua BPK, Agung Firman Sampurna dalam konferensi pers terkait nilai kerugian kasus korupsi PT Asabri, di Kejaksaan Agung, Jalan Bulungan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin, (31/5/2021).
Ketua BPK, Agung Firman Sampurna

Asal tahu saja sepanjang tahun 2020, utang pemerintah sudah mencapai Rp 6.074,56 triliun. Posisi utang ini meningkat pesat dibandingkan dengan akhir tahun 2019 yang tercatat Rp 4.778 triliun.

Kemudian, rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.

"Tak hanya itu, indikator kesinambungan fiskal Tahun 2020 yang sebesar 4,27 persen juga melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411 - Debt Indicators yaitu di bawah 0 persen," pungkas Agung.

Pengelolaan utang kurang efektif Dilansir dari Kontan, sebelumnya BPK menilai pengelolaan utang pemerintah pusat kurang efektif dalam menjamin biaya minimal dan risiko terkendali, serta kesinambungan fiskal untuk periode 2018 hingga kuartal ketiga tahun lalu.

Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2019, BPK menyatakan pengelolaan utang pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian PPN/Bappenas tidak efektif lantaran strategi pengembangan pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik belum meningkatkan likuiditas pasar SBN.

“Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa pengelolaan utang pemerintah pusat kurang efektif untuk menjamin biaya minimal dan risiko terkendali serta kesinambungan fiskal,” tulis BPK dalam laporannya.

BPK menilai penerapan kebijakan pengembangan pasar SBN serta dampaknya terhadap pencapaian pasar SBN yang dalam, aktif, dan likuid juga dinilai masih memiliki kelemahan dalam perencanaan maupun pelaksanaan untuk mencapai target atau arah kebijakan.

BPK juga menilai pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif tidak memiliki parameter dan indikator pencapaiannya.

Kebijakan dan strategi pengelolaan utang pemerintah yang dituangkan dalam dokumen-dokumen perencanaan dan penganggaran belum dapat diukur pencapaiannya.

Hal tersebut karena pemerintah belum memiliki laporan pertanggungjawaban atas kebijakan pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif.

Definisi dan indikator kegiatan produktif dalam pemanfaatan utang belum jelas diungkap dalam dokumen perencanaan pemerintah.

“Pertumbuhan PDB tidak selaras dengan pertumbuhan utang, mengindikasikan tujuan pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif sesuai dengan Renstra DJPPR belum sepenuhnya tercapai,” ungkap BPK.

BPK juga menilai terdapat peningkatan belanja bunga utang dan pemanfaatan utang sebagian besar masih untuk pembiayaan utang jatuh tempo dan bunga utang (refinancing) sepanjang 2014–2019.

“Akibatnya, pencapaian pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif tidak dapat diukur secara memadai, dan kesinambungan fiskal dan kemampuan membayar kembali utang pemerintah pada masa mendatang berpotensi terganggu,” tulisnya.

BPK memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk menyusun kerangka kerja mengenai manajemen risiko keuangan negara, parameter hingga indikator pembiayaan, menyempurnakan kebijakan dalam penetapan yield, dan menetapkan kebijakan monitoring dalam menetapkan estimasi yield surat utang.

Utang baru dari Bank Dunia Bank Dunia atau World Bank beberapa waktu lalu menyetujui pinjaman baru sebesar 500 juta dollar AS yang diajukan pemerintah Indonesia.

Utang baru dipakai untuk memperkuat sistem kesehatan nasional.

Beberapa di antaranya yakni penambahan tempat isolasi pasien virus corona, tempat tidur rumah sakit, penambahan tenaga medis, lab pengujian, serta peningkatan pengawasan dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi.

Selain itu, pinjaman dari Bank Dunia juga akan dipakai pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memperluas program vaksinasi Covid-19.

Pada 10 Juli 2021 lalu, Bank Dunia juga sudah menyetujui utang baru yang diajukan pemerintah Indonesia sebesar 400 juta dollar AS.

Sehingga total utang baru yang ditarik Indonesia selama bulan Juni 2021 yakni sudah mencapai sebesar 900 juta dollar AS atau setara dengan Rp 13,04 triliun (kurs Rp 14.480).

"Selain untuk mendukung vaksinasi gratis dari pemerintah, utang ini akan membantu sistem kesehatan Indonesia menjadi lebih baik dan memperkuat sistem pengawasan melalui pengujian dan pelacakan kasus-kasus baru Covid-19," jelas Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dikutip dari laman resmi Bank Dunia.

Lanjut Budi, dana pinjaman juga akan dialokasikan untuk penanganan dan pencegahan varian virus baru dari virus corona.

Masih dikutip dari laman Bank Dunia, pemerintah Indonesia menyebutkan bahwa program vaksinasi gratis akan menjangkau 181,5 juta orang berusia dewasa.

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul BPK Khawatirkan Bengkaknya Utang Pemerintah di Era Jokowi

Penulis : Muhammad Idris

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas