Pengenaan PPN di RUU KUP Bisa Berdampak Buruk Pada Industri Perunggasan, Ini Penjelasannya
RUU KUP merupakan perubahan kelima atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menuai kontroversi di masyarakat menyusul keputusan Badan Musyawarah Dewan Perwakilan Rakyat (Bamus DPR) menunjuk Komisi XI sebagai mitra pemerintah untuk membahas RUU tersebut.
RUU KUP merupakan perubahan kelima atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang KUP.
Rencana revisi UU KUP tengah menjadi sorotan publik karena dalam di dalamnya akan memungut
sejumlah tarif pajak seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk produk sembako, jasa
pendidikan, jasa layanan kesehatan, dan sebagainya.
Selain akan mengatur tentang PPN, RUU KUP juga akan mengatur mengenai Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM), pengampunan pajak (Tax Amnesty), dan lain sebagainya.
Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA), Ali Usman pada diskusi virtual dengan media hari ini, Kamis (1/7/2021) mengatakan, jika PPN jadi diterapkan terhadap industri strategis nasional, hal itu akan menjadi polemik baru bagi perekonomian nasional.
Baca juga: Ketua Banggar DPR Sebut Polemik PPN dalam RUU KUP Cenderung Aneh dan Multitafsir
Ali usman berpendapat, regulasi tersebut berpotensi menurunkan PPh badan dan defisit transaksi berjalan. Apalagi perekonomian Indonesia tengah mengalami konstraksi akibat pandemi Covid-19 yang menghimpit masyarakat dan menurunkan daya beli.
Baca juga: Polemik RUU KUP, Fraksi PKB DPR Dorong Pemerintah Jelaskan Detail ke Publik
Ali Usman mengigatkan, industri perunggasan memiliki peran sangat strategis karena menyangkut
agribisnis hulu hilir. Di hulu, industri perunggasan menyediakan sarana produksi ternak
(sapronak) meliputi DOC Final Stock, pakan dan obat-obatan.
Sedangkan di bagian hilir, aktivitas penjualan ayam panen (livebird), ayam karkas, hingga produk ayam olahan. Artinya agribisnis ini menyerap tenaga kerja dan menciptakan peluang usaha yang sangat luas.
Baca juga: Misbakhun Sindir Sri Mulyani terkait Polemik RUU KUP: Apakah Bu SMI Lelah Mencintai Negeri Ini?
RUU PPN ini juga dikenakan pada sejumlah komoditas bahan baku pakan yang impor sebesar
35% yaitu Soya Bean Meal (SBM), Meat Bone Meal (MBM), Corn Gluten Meal (CGM), Distillers
Dried Grains with Soluble (DDGS).
Jika bahan baku pakan ternak tersebut dikenakan PPN, maka secara tidak langsung harga pakan meningkat, sehingga Harga Pokok Produksi (HPP) budidaya unggas pun terkerek naik di tingkat peternak/pembudidaya.
“Jika harga ayam berpotensi semakin mahal, akan mengancam daya beli masyarakat yang semakin menurun,” Terangnya Ali Usman.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT), Desianto mengatakan, Pemerintah perlu berhati-hati mengenakan PPN pada sembako karena ini akan berdampak luas dan sangat luar biasa pada nilai transaksi belanja di masyarakat.
"Pemerintah harus mengkaji terlebih dahulu bersama stakeholder perunggasan yaitu pelaku usaha, asosiasi, peternak dan akademisi," kata Desianto.
Multiplier effects pengenaan PPN terhadap kenaikan harga pakan adalah sebagai berikut:
1. Pada harga daging ayam
Rata – rata Feed Conversion Ratio (FCR) ayam broiler sebesar 1,7, maka setiap kenaikan 1% pakan (feed) akan berdampak pada kenaikan harga livebird sebesar 1,7%, dan berpengaruh terhadap kenaikan harga karkas sebesar 3%.
Jika dikenakan tarif PPN 10% akan terjadi kenaikan harga livebird adalah 17% dan kenaikan harga karkas sebesar 25%.
2. Pada harga telur
Rata – rata FCR telur sebesar 2,3, maka setiap kenaikan feed sebesar 1 %, akan berpengaruh kenaikan harga telur sebesar 2,3%.
Apabila dikenakan tarif PPN 10% akan terjadi kenaikan harga telur adalah 23%. Bila dihitung dengan FCR telur (masa pullet) FCR 2,6 maka kenaikan harga telur adalah 26%.
RUU KUP PPN ini terhadap industri strategis nasional harus menjadi fokus semua pihak karena
berdampak terhadap sosial ekonomi.
Desianto menyampaikan, Merujuk pada pentingnya pembebasan PPN (PPN ditanggung Pemerintah) untuk bahan baku pakan, pakan dan produk ternak (DOC dan LB) dan perikanan.
Berharap kepada pemerintah supaya PPN untuk bahan baku pakan, pakan dan produk peternakan
dan perikanan tetap dibebaskan atau ditanggung oleh Pemerintah.
Ia menjabarkan, pakan dan Bahan Pakan adalah industri yang strategis. Dasar hukumnya ada pada
Peraturan Pemerintah No. 81 tahun 2015 Pasal 1 ayat (1).
Bunyinya, “Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang atas impornya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai”.
Kemudian Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai”.
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Pasal 16B “Pajak terutang tidak dipungut”:
Ayat (2a) huruf J “mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis dalam
rangka pembangunan nasional”.
"Bila perlu dari hulu sampai hilir tidak ada distorsi perlakuan pengenaan pajak pada komoditi strategis," ujar Desianto.
Indonesia dengan populasi 270 juta terbesar keempat di dunia, menjadi pasar yang sangat besar
bagi produk peternakan seperti daging, telur dan susu.
Seiring bertambahnya populasi serta meningkatnya kesadaran gizi masyarakat. Permintaan pasar terus berkembang dan secara tidak langsung permintaan produk olahan unggas seperti daging ayam, telur dan susu sebagai sumber protein hewani ini mudah didapat dengan harga terjangkau.
Desianto mengatakan, dari perspektif kondisi perekonomian global dan dalam negeri yang melambat, berpotensi menurunkan tingkat pertumbuhan industri pakan.
Sementara dari sisi kebijakan pemerintah yang kurang tepat sasaran yang memberatkan pelaku usaha, maka dapat melemahkan potensi perkembangan industri yang bersangkutan. Salah satunya adalah kebijakan pemerintah RUU PPN.