Menperin Ingin Industri Dalam Negeri Bisa Mandiri, Berdaulat, Maju, Berkeadilan dan Inklusif
Gumiwang Kartasasmita memiliki keinginan industri dalam negeri Indonesia supaya bisa mandiri, berdaulat, maju, berkeadilan dan inklusif dalam refleksi
Editor: Johnson Simanjuntak
Di Triwulan II Tahun 2021 pertumbuhan industri manufaktur rebound ke level positif di angka 6,91 persen. Di samping itu, angka absolut kontribusi sektor industri pengolahan dalam PDB secara umum meningkat meski secara persentasenya terhadap PDB menurun.
Hal ini sejalan dengan kontribusi ekspor sektor industri manufaktur dalam ekspor nasional dan nilai investasi di sektor industri manufaktur yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Kontribusi ekspor sektor industri dalam ekspor nasional pada tahun 2020 tercatat sebesar 80,3 persen, dan pada Januari-Juni 2021 tercatat sebesar 78,80% yang mendorong surplus neraca perdagangan Indonesia sebesar US$8,22 miliar.
Investasi di sektor industri pun terhitung terus meningkat naik sejak tahun 2020 dan pada periode Januari-Juni 2021 kemarin tercatat sebesar Rp. 167,1 triliun atau naik 29 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2019.
Masalah Utama dan Upaya Penyelesaian
Meski terbantahkan, kekhawatiran akan terjadinya deindustrialisasi di Indonesia sepatutnya
dijadikan alarm bahwa banyak hal harus dibenahi agar sektor industri pengolahan mampu
berkembang dan berperan secara berkelanjutan bagi perekonomian nasional.
Pengalaman di masa lalu memberikan pelajaran, bahwa pertumbuhan yang tinggi saja tidak membuat ekonomi menjadi kokoh, tidak menjadikan industri manufaktur menjadi kuat.
Ada unsur yang mesti menjadi pedoman dalam membangun perekonomian, terlebih khusus
industri manufaktur, yaitu kemandirian.
Pertumbuhan ekonomi bersamaan dengan pertumbuhan industri manufakur yang sangat pesat di masa lalu kerap kali membuat kita lupa bahwa struktur industri manufaktur Indonesia masih sangat bergantung pada sumber daya luar (impor).
"Ini tercermin dari struktur impor Indonesia yang sejak tahun 1981 hingga kini masih sangat didominasi oleh impor bahan baku dan penolong dan barang modal."
Perkembangan industri dan peningkatan ekspor tidak akan optimal manfaatnya jika selalu
diikuti dengan meningkatnya impor. Bahkan dalam skala tertentu, peningkatan impor barang
modal serta bahan baku dan bahan penolong justru membuat rapuh ketahanan industri
manufaktur.
Manakala harga barang import meningkat, atau saat pasokan tersendat atau bahkan
terhenti akibat suatu peristiwa -seperti pandemi yang kita alami saat ini-industri manufaktur
menjadi limbung dan bahkan mendekati kematian.
Pandemi Covid-19 membuka mata kita untuk melihat banyak hal. Antara lain masih banyak
celah kosong di sisi supply chain dalam struktur industri manufaktur Indonesia.
Sektor farmasi menjadi contoh aktual. Ketergantungan terhadap impor bahan baku termasuk jenis
obat untuk terapi Covid-19 –ditambah dengan faktor panic buying oleh masyarakat- membuat
obat terapi Covid-19 sempat menjadi barang langka dan berharga mahal.
"Kita mesti bersaing dalam impor bahan baku obat dan obat jadi dengan banyak negara yang sama-sama membutuhkan."