Dampak Pandemi Covid-19, Hotel dan Mal Banyak Dijual
Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung satu tahun lebih membuat beberapa hotel terpaksa harus dijual karena tidak dapat menanggung beban operasional.
Editor: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sejak Maret 2020 hingga saat ini, membuat beberapa hotel terpaksa harus dijual karena tidak dapat menanggung beban operasional.
Ketua BPD Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) DKI Jakarta Sutrisno Iwantono mengatakan, kondisi hotel selama pandemi sangat tertekan.
Terlebih dengan adanya kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat.
"Jadi banyak juga hotel dijual, dari hotel budget, hotel bintang 5 juga ada, bintang dua ada, non bintang juga ada. Bukan hanya di Jakarta, di luar daerah juga sama," kata Sutrisno saat dihubungi, Kamis (2/9/2021).
Informasi hotel dijual didapat dari para pengusaha hotel yang curhat mengenai kondisi keuangan usahanya.
"Mereka sudah tidak bisa lagi beroperasi, okupansi juga di bawah 10 persen, karena tamu hotel itu lebih banyak dari luar kota. Tapi saya tidak tahu angka persisnya, berapa hotel yang dijual, karena ada juga yang tidak terbuka urusan dapurnya," kata Sutrisno.
Adapun cara menyelamatkan bisnis hotel, kata Sutrisno, dengan mendatangkan tamu.
Namun saat kondisi seperti ini merupakan langkah yang sulit karena berpotensi penyebaran Covid-19.
Baca juga: Dampak Pandemi, PHRI Jakarta: Hotel Banyak Dijual, dari Hotel Budget sampe Bintang 5
"Susah juga, mungkin pajak-pajak yang memberatkan bisa dihapus terlebih dahulu. Pajak daerah itu besar juga 10 persen, tapi kan sekarang pemerintah mau naikkan pajak UMKM, padahal pengusaha hotel kecil juga UMKM," ujar Sutrisno.
Tidak hanya hotel, Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menyebut beberapa pusat perbelanjaan berpotensi ditutup selamanya atau dijual setelah habisnya dana cadangan akibat pandemi Covid-19 dan pembatasan mobilitas masyarakat.
"Ada beberapa pusat perbelanjaan yang berpotensi tutup ataupun dijual, dan bukan hanya di daerah tertentu saja, banyak terjadi di hampir semua daerah," kata Ketua Umum APPBI Alphonzus Widjaja.
Namun, Alphonzus tidak dapat menyebutkan secara terperinci pusat perbelanjaan mana saja yang akan ditutup atau dijual, karena dapat mengganggu upaya proses penyelamatan yang sedang diupayakan masing-masing pusat perbelanjaan.
"Pandemi yang berkepanjangan dengan berbagai pembatasan yang diberlakukan membuat banyak pusat perbelanjaan kehabisan dana cadangan untuk bertahan," ujarnya.
Baca juga: Tarif Rapid Test Antigen Covid-19 di Bandara AP II Turun Menjadi Rp 85 Ribu
Menurutnya, kemampuan setiap pusat perbelanjaan tidak sama, dan bagi pusat perbelanjaan yang sebelum pandemi memiliki kinerja kurang maksimal, akan mengalami tekanan yang lebih berat untuk bertahan selama pandemi.
"Kesulitan seperti tersebut di atas bukan hanya dialami pusat perbelanjaan yang berlokasi di daerah tertentu saja, tapi juga dialami pusat perbelanjaan yang berada di wilayah lain karena saat ini berbagai pembatasan sudah menyebar ke hampir seluruh wilayah Indonesia," ujar Alphonzus.
Dampak pemberlakuan pembatasan operasional hingga penutupan operasional pusat perbelanjaan, kata Aplhonzus, tidak serta merta berakhir pada saat pembatasan mobilitas masyarakat diakhiri.
Tetapi, dampak pembatasan dan penutupan operasional masih terus harus dipikul sampai berbulan-bulan kemudian oleh pusat perbelanjaan.
"Berdasarkan pengalaman selama pandemi ini, hanya untuk menaikkan tingkat kunjungan sebesar 10 persen sampai 20 persen saja diperlukan waktu tidak kurang dari tiga bulan," katanya.
Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengatakan sebenarnya kegiatan jual-beli atau pemindahtanganan mal atau pusat belanja itu sudah terjadi sejak sebelum pandemi.
Hal itu merupakan strategi bisnis dari para pengelola untuk bertahan.
Baca juga: Jumlah Kasus Covid-19 terus Turun, Konsistensi Pencegahan Harus Terjaga
Namun demikian, dengan adanya pandemi Covid-19 semakin mempersulit keadaan para peritel.
Sehingga dampaknya, tidak sedikit dari pusat belanja maupun kios yang terpaksa dijual atau dilelang karena pemasukan yang menurun drastis.
"Jadi logikanya pasti terjadi hal-hal tersebut. Seperti ada kios yang dijual atau dilelang. Ini adalah dampak dari pandemi sehingga hotel, restoran, mal, serta toko-toko yang ada di pusat belanja ada yang dijual," kata Budihardjo.
Lebih lanjut dia bilang, pengetatan kebijakan PPKM sejak beberapa bulan lalu, sontak membuat kunjungan mal pun turun drastis.
Hal itu lantas berimbas kepada penurunan pemasukan peritel, baik itu penyewa toko maupun pengelola mal.
"Pasti terjadi kesulitan dari penyewa yang membayar sewa ke mal, karena mal itu hidupnya dari penyewaan. Kami ini asosiasi penyewa, dari kami sudah susah. Saat ini kami sudah kesulitan membayar sewa, sudah pasti malnya juga berkurang income-nya," kata dia.
Adapun, selama PPKM darurat atau ketika mal ditutup, kunjungan ke mal hanya berada di kisaran 10%-20% saja.
Hal itu utamanya disebabkan oleh penutupan sarana hiburan dan juga pelarangan masyarakat untuk makan di tempat atau dine in.
Baca juga: Waketum Demokrat Singgung Soal Pemerintahan 3 Periode, Ingatkan Covid-19 Jangan jadi Alasan
Namun, kata Budiharjo, setelah kebijakan PPKM diperlonggar dan mal kembali dibuka, kunjungan ke mal mulai berangsur pulih dan memperlihatkan peningkatannya ke angka 30%.
Kondisi ini salah satunya ditopang oleh kebijakan dine in di mal, sehingga kunjungan pun mulai meningkat.
"Sudah mulai timbul progres kenaikan perlahan tapi pasti. Pelan-pelan sudah mulai naik, ditambah paling penting restoran boleh dine in. Pada saat restoran take away, sepi sekali malnya. Tapi pada saat sudah boleh dibuka, sudah mulai ada proses trafik mulai masuk lagi perlahan-lahan," kata Budiharjo.
Meskipun begitu, sektor ritel sebenarnya masih jauh dari kata pulih. Dibutuhkan dukungan dari pemerintah agar sektor ritel bisa bangkit kembali.
Dukungan tersebut bisa hadir lewat kebijakan-kebijakan yang pro-peritel dan berdasarkan masukan-masukan dari mereka.
"Berikan bantuan modal kerja buat para peritel yang sudah satu tahun lebih ini kehabisan dana. Tekan biayanya bisa berupa dengan kebijakan yang tepat, sehingga sewa bisa enggak terlalu mahal, biaya karyawan enggak terlalu mahal. Dengan konsisten ini selama dua tahun, sektor ritel bisa pulih kembali, " pungkas dia. (Tribun Network/sen/ktn/wly)