Pemberlakuan Sertifikasi CHSE, PHRI DKI Jakarta : Tak Mungkin Diterapkan Sekarang
Usaha hotel dan restoran pada saat ini sudah terlalu banyak sertifikasi yang diterapkan seperti sertifikasi usaha, laik sehat, profesi, K3 dan lainnya
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua BPD Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) DKI Jakarta Sutrisno Iwantono mengatakan kewajiban sertifikasi cleanliness, health, safety, and environmentally friendly (CHSE) bertentangan dengan upaya pemulihan bisnis pariwisata.
Apalagi hotel dan restoran menjadi sektor terdampak paling buruk akibat pandemi Covid-19.
"Kalau diwajibkan, tidak bisalah.
Bagaimana maksa non bintang diwajibkan begitu, sementara dia nutupin biaya lainnya tidak bisa, lalu akibatnya itu tidak terizin ya tutup mereka.
Saya lihat ini (CHSE) penting memang, tapi situasinya ini yang tidak memungkinkan diterapkan sekarang," kata Sutrisno secara virtual, Senin (27/9).
Usaha hotel dan restoran pada saat ini sudah terlalu banyak sertifikasi yang diterapkan, seperti sertifikasi usaha, laik sehat, profesi, K3 dan lainnya, yang
semuanya tentu membawa konsekuensi biaya tambahan.
"Sekarang protokol kesehatan yang diterapkan pada sektor hotel dan restoran telah dilaksanakan dengan baik, bahkan menjadi sektor yang paling siap dalam mengimplementasikan prokes tersebut," tuturnya.
Oleh sebab itu, kata Sutrisno, sertifikasi CHSE tidak layak untuk dijadikan kewajiban setiap tahun dengan biaya yang berat, apalagi menjadi poin untuk dimasukan dalam
perizinan online single submission (OSS).
Baca juga: BUMN Perhotelan Ini Pastikan Seluruh Unit Hotelnya Terapkan Aplikasi PeduliLindungi
"Ini akan sangat memberatkan dan tidak berdampak peningkatan ekonomi bagi wisata, khususnya hotel dan restoran.
Apalagi OSS ini sangat rumit, jauh dari sempurna sehingga banyak menimbulkan masalah baru bagi kegiatan bisnis," tuturnya.
Sutrisno juga menyebut kondisi hotel dan restoran pada saat ini masih mengalami tekanan, meski pemerintah telah melakukan pelonggaran di masa PPKM.
"Masih jauh dari kondisi normal, masih babak belur. Untuk bisa menutup variable cost saja masih
sulit," kata Sutrisno.
Menurut Sutrisno, saat pemberlakuan PPKM ketat yakni level 4, okupansi hotel hanya berada pada kisaran 10 persen hingga 10 persen. "Sekarang memang sudah mulai
merangkak, tetapi belum signifikan. Tamu hotel juga kan lebih banyak dari luar daerah," ucapnya.
Baca juga: Pemerintah Alokasikan Anggaran Triliunan Rupiah untuk Pulihkan Sektor Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Sutrisno menyebut, beratnya usaha hotel dan restoran pada saat PPKM, membuat sejumlah pelaku usaha memutuskan menutup usahanya. "Indikasi (penutupan hotel)
bisa dilihat dari informasi hotel-hotel yang mau dijual. Misalnya di Mampang, saya tidak mau menyebutkan namanya, sekarang ini sudah berubah fungsi menjadi kantor,"
tuturnya.