Menteri ESDM: Pembangkit Listrik Seluruhnya Berasal dari EBT di Tahun 2030
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menegaskan transisi energi memerlukan dukungan konsumen dari sektor komersial dan industri
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Muhammad Zulfikar
"Sekarang EBT jadi kompetisi fosil, tapi fosil tidak bisa digantikan juga sampai 2050," kata Fatar secara virtual, Selasa (18/10/2021).
Menurutnya, kebutuhan BBM dari fosil pada 2030 diperkirakan meningkat dua kali lipat dari permintaan pada saat ini 1,5 juta barel menjadi 2,5 juta barel untuk minyak.
Baca juga: Menkeu Sri Mulyani Tegaskan Pentingnya Merancang Kebijakan Transisi Energi
"Artinya investasi hulu migas harus tetap jalan, meski perusahaan besar mulai pindah ke EBT tapi tidak menafikan bisnis hulu migas ini masih akan ada," paparnya.
Fatar juga berkenyakinan bisnis di hulu migas masih akan menggeliat ke depannya, terlebih Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut pemerintah akan memberikan dukungan fiskal untuk sektor tersebut.
"Sehingga kami sangat optimis, kami tetap melakukan eksplorasi karena Indonesia masih tetap butuh fosil sampai 2050, bahkan lebih," tuturnya.
Penggunaan EBT Bukanlah Sebuah Pilihan
Pemerintah menyebutkan, penggunaan energi yang bersumber dari energi baru terbarukan (EBT) merupakan hal yang wajib, dan ini bukanlah sebuah pilihan.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, berdasarkan berbagai publikasi serta kajian yang ia peroleh, sebanyak 38 persen emisi Indonesia bersumber dari sektor energi.
Di dalamnya termasuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan bahan bakar fosil (batu bara).
"Energi baru terbarukan bukanlah pilihan, ini arah ke depan kita," ucap Suahasil dalam diskusi Harian Kompas bertemakan Energi Terbarukan, Kamis (21/10/2021).
"Di sisi lain keberadaan fosil energi yang memiliki efek CO2 (karbon dioksida) tidak baik untuk kita dalam jangka menengah dan panjang," sambungnya.
Baca juga: SKK Migas: EBT Belum Bisa Gantikan Energi Fosil Hingga 2050
Salah satu bentuk komitmen Indonesia, lanjut Suahasil, diwujudkan melalui penandatanganan Paris Agreement pada 2015, yang merupakan kesepakatan global untuk mengurangi gas rumah kaca (GRK).
Setiap negara penandatangan Paris Agreement wajib menyampaikan Nationally Determined Contributions (NDC) yang berisi langkah-langkah penurunan emisi GRK masing-masing.
Di dalam NDC Tahap I (2020-2030), Indonesia menargetkan penurunan emisi GRK sebesar 29 persen secara mandiri atau 41 persen jika mendapat bantuan internasional.
Indonesia juga mencanangkan net zero emission paling lambat pada 2060.
"Sekarang (Pemerintah) sudah menandatangani Paris Agreement. Kita di sini memiliki komitmen menurunkan emisi CO2," papar Suahasil.
"Karena itu (energi fosil tidak baik), energi baru terbarukan bukanlah sebuah pilihan, ini adalah masa depan kita. Jadi harus dipikirkan secara mendalam," pungkasnya.