Jokowi Pasang Badan Soal Gugatan UE Terkait Larangan Ekspor Nikel, Ini Jurus yang Bisa Dilakukan RI
Uni Eropa menggugat pemerintah Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang melarang ekspor ke Benua Biru tersebut.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Republik Indonesia siap melawan Uni Eropa terkait pelarangan ekspor nikel.
Uni Eropa menggugat pemerintah Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang melarang ekspor ke Benua Biru tersebut.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pasang badan dan menyatakan dengan tegas siap melawan.
"Jangan tarik-tarik kita ke WTO karena kita setop (ekspor nikel).
Dengan cara apa pun kita lawan," tegas Jokowi saat acara Forum CEO 100 Kompas di Jakarta, Kamis (18/11/2021).
Pasalnya, dari penghentian ekspor nikel saja, Indonesia bisa meraup banyak keuntungan.
Baca juga: CORE Ingatkan Pemerintah DPR Perlu Tegas ke Surveyor Nikel yang Tidak Taat Aturan Survei
Kepala Negara memperkirakan, penghentian ekspor bijih nikel ini bakal meraih benefit hingga 20 miliar dollar AS atau setara Rp 284 triliun (kurs Rp 14.200 per dollar AS).
Malah semua sumber daya alam berbahan mentah (raw material), seperti bauksit dan tembaga, jika dihentikan ekspornya ke negara-negara lain, Indonesia bisa mengantongi keuntungan 35 miliar dollar AS.
"Sekarang ini lompatan ekspor kita tinggi ini dari ini. Di bulan Oktober saja, sudah 16,5 miliar dollar AS.
Sampai akhir tahun perkiraan saya bisa sampai 20 miliar dollar AS, hanya dari kita setop nikel.
Dan perkiraan saya dari barang-barang yang lain, perkiraan saja 35 miliar dollar AS," sebutnya seperti dikutip Kompas.com.
Baca juga: Jokowi Yakin 3-4 Tahun Lagi Indonesia Jadi Produsen Utama Produk Berbasis Nikel
Alasan pemerintah menghentikan pengiriman bijih nikel lantaran ingin menciptakan lapangan kerja. Namun, Jokowi bilang, Indonesia tidak menutup diri apabila ada negara lain yang ingin berinvestasi dan berproduksi.
Tetapi, dirinya tidak ingin negara lain malah ingin menguasai bahan mentah Tanah Air yang bisa menghasilkan energi tersebut.
"Kita tidak menutup diri kok, kita terbuka. Tapi kalau kita disuruh kirim bahan mentah, setop, jangan berpikir Indonesia akan mengirim bahan mentah.
Nikel terutama, kita setop. Tahun depan kita bisa setop bauksit sehingga kita bisa membuka lapangan kerja. Tahun depannya lagi, setop tembaga," tegas Jokowi.
"Kenapa kita lakukan ini? Kita ingin nilai tambah, kita ingin menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Mau tidak mau mereka harus invest di Indonesia atau ber-partner dengan kita. Lewat swasta bisa, lewat BUMN silahkan," sambung Presiden.
Baca juga: STAL Siap Jadi Terobosan Teknologi Pengolahan Nikel yang Ramah Lingkungan
Sebagai tindak lanjut dari gugatan Uni Eropa atas kebijakan larangan ekspor produk bijih nikel mentah oleh Indonesia (DS 592), panel sengketa WTO melakukan sidang secara virtual di depan panel WTO, Jenewa, Swis, baru-baru ini.
Jurus yang Bisa Dipakai
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) menilai, selain argumen kedaulatan ekonomi dan nilai tambah domestik, pemerintah RI perlu memperkuat pembelaan dengan beberapa argumen tambahan.
Mengutip risetnya, Selasa (2/11/2021), LPEM UI berpendapat, ada 3 argumen yang setidaknya dapat disiapkan pemerintah, salah satunya yakni masih cukup besarnya pasokan bijih nikel dari negara-negara di dunia, selain Indonesia.
Data Nickel Institute di 2021 menunjukkan ada 10 negara yang menguasai 77 persen sumber daya nikel di dunia. Indonesia sendiri porsinya memiliki sumber daya nikel mencapai 11 persen.
Baca juga: Punya Pasokan Nikel Terbesar Dunia, Arsjad Rasjid: Indonesia Bakal Kuasai Pasar Mobil Listrik
Tetapi negara lain juga cukup memiliki sumber daya nikel yang besar, seperti Australia mencapai 15 persen, Afrika Selatan 11 persen, Rusia 8 persen, Kanada 7 persen, Filipina 6 persen, Brazil 6 persen, Kuba 5 persen, Kaledonia Baru 5 persen, dan China 2 persen.
"Indonesia dapat menunjukkan bahwa larangan ekspor bijih nikelnya tidak sepenuhnya mengguncang pasokan bijih nikel dunia, karena masih cukupnya pasokan dari negara-negara lain," tulis riset tersebut.
Argumen kedua yakni, menyatakan bahwa Indonesia tidak melarang ekspor nikel yang telah diolah dan dimurnikan, sehingga produsen barang berbasis nikel dunia tidak akan kehilangan bahan baku, melainkan hanya mengurangi satu rantai produksinya saja.
"Pabrik pengolahan nikel di Uni Eropa maupun di negara-negara industri lain tidak akan sepenuhnya terhenti akan tetapi hanya mengurangi satu tahapan produksinya saja," demikian tertulis dalam riset.
Serta terakhir, pemerintah dapat membawa argumen bahwa Indonesia perlu memastikan kecukupan pasokan bagi kebutuhan domestik, terutama bagi pelaku smelter yang telah berinvesasi di Indonesia.
Pada 2020 setidaknya ada 13 smelter di Indonesia dan di 2021 akan tambah 3 smelter lagi yang akan beroperasi.
"Indonesia dapat menunjukkan bahwa larangan ekspor bijih nikel juga diperlukan untuk menjamin kecukupan pasokan domestik," tulis riset tersebut
Selain menyarankan tambahan argumen untuk memperkuat pembelaan pemerintah RI di WTO, LPEM UI juga menilai, ada 2 hal yang perlu dilakukan pemerintah untuk menindaklanjuti kebijakan larangan ekspor bijih nikel.
Baca juga: Berhasil Tingkatkan Recovery, ESDM Sebut Teknologi STAL Terobosan Strategis Olah Bijih Nikel
LPEM UI menyebut, pemerintah perlu memikirkan lebih lanjut agar rantai nilai domestik tidak hanya berhenti pada produk dari smelting, tetapi produk turunan lanjutan lainnya.
Untuk itu perlu dipelajari insentif apa saja yang diperlukan untuk menarik investasi pada industri pengolahan nikel yeng lebih hilir.
Selain itu, diperlukan pula konsistensi pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel ini.
Cerah di Industri Mobil Listrik
Pemerintah terus mendorong berbagai upaya untuk meningkatkan produksi mobil listrik. Hal itu disampaikan Presiden Joko Widodo saat menjajal salah satu mobil listrik yang dipamerkan di pameran Gaikindo Indonesia Internasional Auto Show (GIIAS) pada 17 November 2021.
Membangun ekosistem mobil listrik yang rendah emisi dan ramah lingkungan agar segera dibangun dinilai penting. Untuk itu, pemerintah akan terus mendorong berbagai upaya untuk meningkatkan produksi mobil listrik.
Ekonom INDEF Tauhid Ahmad menilai Indonesia akan mampu menguasai industri mobil listrik global di masa mendatang. Pasalnya, Indonesia memiliki sumber baterai listrik dari turunan nikel.
“Sumber biaya yang paling mahal dari mobil listrik soal komponen baterai listrik. Karena satu ini kita punya daya saing,” kata Tauhid dalam keterangannya, Kamis (18/11).
Pemerintah telah membentuk PT Industri Baterai Indonesia atau Indonesia Battery Corporation (IBC) yang merupakan gabungan dari PT Indonesia Asahan Alumunium (MIND ID), anak usahanya ANTM, Pertamina dan PLN.
Selain itu, kata dia, pemerintah sudah memiliki roadmap infrastruktur mobil listrik. PLN sudah punya SPLU (stasiun pengisian listrik umum) itu akan dibangun sampai tahun berapa, itu kan berarti infrastruktur dasarnya kita sudah punya.
Tauhid menambahkan, tren penggunaan mobil listrik juga meningkat. Itu terlihat dari data dari Gaikindo pengguna mobil listrik makin banyak dan dunia pertumbuhannya juga cepat.
IBC, sebagai holding perusahaan baterai di Indonesia, rencananya juga telah menyiapkan pengembangan bisnis, baik di ekosistem EV Battery maupun Electric Vehicle.
Pengembangan ekosistem Electric Vehicle ini menjadi salah satu kunci untuk mendukung program percepatan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) di Tanah Air.
Bahkan, IBC dikabarkan akan mengakuisisi StreetScooter, produsen kendaraan listrik milik Deutsche Post DHL Group asal Jerman.
Mengutip Nasdaq, StreetScooter menargetkan 37 ribu kendaraan listrik pada 2025. Saat ini telah beredar 15 ribu produk besutan StreetScooter di seluruh dunia.
Tauhid mengatakan, dari segi teknologi, untuk mengembangkan industri mobil listrik, Indonesia tidak dapat bekerja sendiri.
“Kita harus bermitra dengan banyak perusahaan luar, kalau hanya mengandalkan SDM sendiri terlalu lama, mungkin bisa tapi lama,” katanya.
Menurutnya, pemerintah ke depan harus lebih banyak memberikan dukungan kepada sektor ini, seperti halnya insentif fiskal. Jika tidak maka industri mobil listrik dalam negeri tidak dapat berkembang.
(Kompas.com/Ade Miranti Karunia/Kontan)