Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Kekurangan Tenaga Kerja di Amerika Sudah Akut, Dampaknya Mengerikan

Beradasarkan laporan Departemen Tenaga Kerja AS, klaim awal untuk tunjangan pengangguran negara turun ke level 43.000

Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Kekurangan Tenaga Kerja di Amerika Sudah Akut, Dampaknya Mengerikan
istimewa
Ilustrasi pengangguran 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Analis pasar modal Hans Kwee mengatakan, jumlah warga Amerika Serikat (AS) mengajukan klaim baru untuk tunjangan pengangguran pekan lalu turun ke level terendah dalam lebih dari 52 tahun.

Beradasarkan laporan Departemen Tenaga Kerja AS, klaim awal untuk tunjangan pengangguran negara turun ke level 43.000 ke penyesuaian musiman 184.000 untuk pekan yang berakhir hingga 4 Desember 2021, penurunan ke level terendah sejak September 1969.

"Kondisi pasar tenaga kerja terus mengetat di tengah kekurangan tenaga kerja yang akut," ujar dia melalui risetnya, Senin (13/12/2021).

Baca juga: 10 Provinsi Dengan Angka Pengangguran Tertinggi di Tanah Air

Sementara itu, Hans menjelaskan, dari ekonom yang disurvei Reuters memperkirakan terdapat 215.000 aplikasi tenaga kerja untuk pekan terakhir.

"Klaim menyusut dari rekor tertinggi 6,149 juta pada awal April 2020. Tantangan pasar tenaga kerja Amerika Serikat lebih ke masalah kekurangan tenaga kerja yang mungkin akan berlanjut sampai tahun depan," katanya.

Selain itu, Departemen Tenaga Kerja merilis indeks harga konsumen (IHK) untuk periode November, menunjukkan harga konsumen secara tahunan naik sebesar 6,8 persen.

Berita Rekomendasi

Hans mengungkapkan, ini merupakan inflasi tertinggi sejak Juni 1982, menyusul kenaikan yang sama di bulan Oktober 2021 sebesar 6,2 persen.

Baca juga: Rencana Kenaikan Cukai Rokok Dinilai Berpotensi Tingkatkan Pengangguran

Kendati demikian, pasar sudah memperkirakan pembacaan inflasi tinggi dengan beberapa ekonom memproyeksikan kemungkinan angka tersebut, di mana mencakup makanan dan energi bisa melebihi 7 persen.

"Data inflasi yang sesuai perkiraan membuat saham berhenti sejenak setelah kenaikan signifikan di paruh pertama pekan ini. Inflasi terlalu tinggi menjadi tekanan bagi The Fed untuk melakukan perubahan kebijakan moneter sebagai dukungan kepada ekonomi selama periode pandemi Covid-19," pungkas Hans.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas