Rasio Utang Indonesia Berisiko Membengkak Lagi Tahun Ini: Prediksi Ekonom CELIOS
Ekonom CELIOS Bhima Yudhistira mewanti-wanti terkait potensi peningkatan rasio utang pemerintah pada tahun 2022.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mewanti-wanti terkait potensi peningkatan rasio utang pemerintah pada tahun 2022.
Direktur Celios Bhima Yudhistira memperkirakan, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun ini bisa berada di kisaran 45%-47%.
Tentu saja ini jauh lebih tinggi dari rasio utang pada tahun 2021.
Seperti mengutip dari dokumen APBN KiTa terbaru di laman kemenkeu.go.id, rasio utang pemerintah per akhir November 2021 mencapai Rp 6.713,24 triliun atau setara 39,84% PDB.
“Harusnya posisi utang tersebut sudah menjadi warning (peringatan). Kenaikan rasio utang ini juga disebabkan oleh tanggungan utang sebelumnya yang belum sejalan dengan optimalisasi kenaikan pendapatan negara,” ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Minggu (9/1/2022).
Baca juga: Utang RI Terus Membubung Hingga Rp 6.713 Triliun, Menteri Sri Mulyani Tetap Optimis Sanggup Bayar
Bhima melihat ada peningkatan penerimaan negara dari sisi komoditas pada paruh kedua tahun lalu. Namun, ia ragu apakah windfall harga komoditas masih bisa dirasakan di tahun ini.
Sementara itu, sederet tantangan masih menghantui prospek utang di tahun ini, seperti contohnya volatilitas kurs akibat normalisasi kebijakan moneter di negara-negara maju.
Baca juga: Penerimaan Pajak 2021 Lampaui Target, Wakil Ketua MPR: Momentum Mengurangi Utang
Ini bisa menjadi beban tersendiri bagi utang luar negeri.
Kemudian, ada juga tren peningkatan suku bunga yang bisa memicu tambahan bunga bagi surat utang pemerintah.
Era bunga rendah secara global akan berangsur berakhir pada tahun ini dan akan beralih pada bunga yang lebih mahal.
Untuk itu, Bhima menyarankan, pemerintah bisa lebih bijak dalam mengelola utang. Hal ini bisa dimulai dengan menyusun skala prioritas belanja.
Ia mengambil contoh belanja yang terkait infrastruktur.
Bhima tak menampik belanja modal ini sangat penting, tetapi sebaiknya pemerintah memilih mana yang memiliki dampak langsung ke efisiensi logistik dan meningkatnya produktivitas industri bernilai tambah.
“Jangan sampai belanja yang tidak prioritas kemudian dipaksakan, karena ini akan menjadi beban ke penambahan utang baru,” tuturnya.
Baca juga: Pembangunan Ibu Kota Negara Dinilai Bikin Beban Defisit Fiskal Melonjak