'Kebal' Isu Covid-19, Harga Minyak Dunia Menanjak Tertinggi Dalam 7 Tahun Belakangan
Sementara untuk sentimen negatif, menurutnya masih akan seputar Covid-19, misalnya jika ada mutasi yang bisa menyebabkan lockdown.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Harga minyak mentah dunia jenis West Texas Intermediate (WTI) terus melanjutkan reli.
Merujuk pada lapaoran Bloomberg, pada Senin (31/1/2022) harga minyak WTI kontrak pengiriman Maret berada di level US$ 88,45 per barel.
Harga tersebut merupakan yang tertinggi dalam tujuh tahun terakhir.
Analis Global Kapital Investama Alwi Assegaf mengungkapkan, faktor utama yang mengangkat harga minyak adalah masih ketatnya pasokan di pasar berkat pembukaan kembali ekonomi di beberapa negara.
Baca juga: Jangan Salah Pilih Spesifikasi RON, Mekanik: BBM Rekomendasi Pabrikan Bikin Kinerja Mesin Optimal
Sementara dari sisi permintaan justru terus meningkat setelah reopening tersebut. Bahkan, beberapa produsen minyak kecil masih belum mampu memproduksi secara maksimal, sehingga membuat pasokan tetap ketat.
“Selain itu, kebijakan OPEC+ untuk tetap menambah pasokan ke pasar hanya sebesar 400.000 bph juga mendukung pasokan tetap ketat dan harga tetap tinggi,” jelas Alwi ketika dihubungi Kontan.co.id, Senin (31/1).
Di satu sisi, ia menilai, pasar minyak saat ini terlihat sudah kebal terhadap isu Covid-19 yang biasanya memukul permintaan.
Hal ini lantaran pasar melihat bahwa penyebaran kasus varian omicron, diperkirakan tidak akan menggagalkan pemulihan ekonomi.
Baca juga: BBM Premium Batal Dihapus tapi Tak Sebutkan Berapa Kuotanya, Anggota DPR: Sama Saja Bohong!
Faktor lain yang turut mengangkat harga minyak adalah gejolak geopolitik yang memperburuk kekhawatiran atas pasokan energi yang ketat.
Konflik antara Ukraina-Rusia, kemudian milisi Houthi dan Sekutu Arab Saudi semakin mengangkat harga karena baik arab saudi, UEA dan Rusia merupakan produsen minyak terbesar dunia.
“Dengan adanya konflik, dikhawatirkan pasokan minyak juga akan terganggu. Belum lagi negosiasi nuklir Iran-AS yang masih buntu, sehingga pasokan minyak Iran masih tertahan di pasar karena sanksi yang diterapkan oleh AS,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Alwi melihat dalam jangka pendek dan menengah pasokan yang masih ketat ini bisa membawa harga minyak menuju US$ 93 per barel.
Baca juga: Teken Perpres Baru Soal BBM, Jokowi Serahkan Urusan Premium ke Menteri ESDM
Sementara hingga akhir tahun nanti, Alwi menyebut beberapa sentimen positif yang bisa mengangkat harga minyak lebih tinggi adalah persoalan ketatnya pasokan, yang ditandai dengan kuota OPEC+ yang masih bertahap dan turunnya cadangan minyak AS.
Lalu, pemulihan ekonomi global, yang bisa meningkatkan permintaan energi.
Sementara untuk sentimen negatif, menurutnya masih akan seputar Covid-19, misalnya jika ada mutasi yang bisa menyebabkan lockdown.
Lalu kenaikan suku bunga AS yang artinya akan mengangkat dolar AS. Hal ini menjadikan harga minyak menjadi mahal bagi pemegang mata uang non dolar AS.
“Secara umum, dengan optimisme pemulihan ekonomi dan permintaan yang kuat, harga minyak WTI pada tahun ini akan lebih baik dibanding tahun lalu. Harganya sendiri akan berada di kisaran US$ 61 - US$ 100 per barel,” tutup Alwi. (Hikma Dirgantara)