Harga Minyak Goreng Mahal, Komisi VI DPR: Tak Ada Ekonomi Pancasila
Anggota Komisi VI DPR Herman Khaeron menyebut Indonesia saat ini sudah tidak lagi menganut ekonomi Pancasila, tetapi telah masuk ke dalam liberalisasi
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR Herman Khaeron menyebut Indonesia saat ini sudah tidak lagi menganut ekonomi Pancasila, tetapi telah masuk ke dalam liberalisasi.
Hal tersebut disampaikan Herman menyikapinya mahalnya harga minyak goreng, padahal Indonesia menjadi produsen terbesar minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO).
"Kalau melihat ke hulu, menurut saya akar masalah kita adalah sudah kehilangan Pasal 33 ayat 2 dan 3. Kita sudah kehilangan ekonomi Pancasila, dan kita sudah masuk jebakan liberalisasi," tutur Herman secara virtual, Kamis (3/2/2022).
Baca juga: Perjuangan Misnati untuk Dapatkan Minyak Goreng, Rela Antre Berjam-jam Sejak Pagi
Menurutnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) waktu dulu menguasai 60 persen dari jumlah perkebunan yang ada, tetapi sekarang terdilusi karena percepatan perkebunan swasta dan rakyat.
"Rakyat ini bagian dari swasta, saya yakin yang dinamakan rakyat hanya untuk permudah penguasaan lahan saja, akhirnya dikategorikan sebagai area lahan rakyat," tutur politikus Demokrat itu.
Herman menilai, harga komoditas pangan yang ada di Indonesia sudah ditentukan dengan harga internasional, tidak ada lagi harga khusus di dalam negeri.
Baca juga: Tinjau Pasar Kramat Jati, Mendag: Harga Minyak Goreng Akan Mengikuti HET Pada 3-4 Hari ke Depan
"Kita sedang dihadapkan pasar persaingan sempurna, sangat dipengaruhi harga internasional, tidak ada lagi afirmatif price untuk kebutuhan dalam negeri. Contoh minyak goreng, ya semestinya tidak akan langkah, tapi terdongkrak harga komoditas di luar yang begitu tinggi," paparnya.
"Jadi banyak persoalan terkait CPO dan negara akan selalu membela terhadap para pelaku di bidang perkebunan sawit," sambung Herman.