Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Perjuangan Emak-emak Dapatkan Minyak Goreng, Jalan 12 Jam Hingga Celupkan Tinta di Kelingking

Janji Menteri Perdagangan M Lutfi untuk menggelontor pasar dengan minyak goreng harga murah hingga kini belum juga terealisir.

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Perjuangan Emak-emak Dapatkan Minyak Goreng, Jalan 12 Jam Hingga Celupkan Tinta di Kelingking
Warta Kota/Henry Lopulalan
Ilustrasi: Warga mengantre untuk membeli minyak goreng dengan harga Rp 10.500 per liter di pasar Kramat Jati, Jakarta Timur, Kamis (3/3/2022). Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menetapkan ketentuan baru harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng yaitu Rp 11.500/liter untuk kemasan curah, Rp 13.500/liter untuk kemasan sederhana, dan Rp 14.000/liter untuk kemasan premium. (Warta Kota/Henry Lopulalan) 

Imah berharap, kondisi seperti ini bisa segera berlalu.

"Harapannya semoga enggak kayak gini lagi. Mudah-mudahan cepet biasa lagi, bisa belanja nyaman, enggak perlu dateng pagi-pagi buat beli minyak goreng," ujarnya.

Sama senada dikatakan Sinta (26). Ia bahkan rela datang jauh-jauh dari rumahnya di Desa Ligung, Kecamatan Ligung, Kabupaten Majalengka.

Seperti pembeli lainnya, ia juga dibatasi hanya bisa membeli maksimal 2 liter minyak goreng kemasan harga Rp 14 ribu per liternya.

"Saya tahu kalau di sini (supermarket Jatiwangi) ada jual minyak. Ya sudah saya datang tadi pagi-pagi jam 06.30 WIB, Alhamdulillah dapat jam 08.30 WIB," jelas Sinta.

Buyer supermarket tersebut, Mila Aryani, mengatakan setiap hari mereka menyediakan 100-200 karton minyak goreng.

Ia memastikan, tak ada kelangkaan minyak goreng seperti yang ramai dibicarakan masyarakat akhir-akhir ini.

BERITA REKOMENDASI

"Sebenarnya bukan langka si, setiap hari kita sediakan 100 hingga 200 karton. Tapi itulah, ketika datang, habis lagi dalam waktu satu jam," katanya.

Agar tak ada konsumen yang nakal datang berkali-kali membeli minyak goreng, pihak supermarket melakukan penandaan. Setiap pembeli diminta mencelupkan jari kelingkingnya ke tinta, seperti saat pemilu.

Biang Keladinya Pemerintah

Ekonom senior Faisal Basri menyebut kisruh minyak goreng yang terjadi saat ini hingga membuat kelangkaan ketersediaannya terjadi lantaran kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sendiri. Adanya kebijakan yang kurang tepat membuat penyerapan CPO yang tadinya didominasi oleh industri pangan termasuk minyak goreng, kini bergeser ke industri biodiesel. Hal tersebut lantaran adanya kebijakan B20.

Produsen CPO dinilai akan lebih memilih menjual CPO mereka ke perusahaan biodiesel ketimbang perusahaan minyak goreng, lantaran harga jual CPO ke pasar biodiesel domestik lebih tinggi dari dijual ke perusahaan minyak goreng.


"CPO jual ke perusahaan minyak goreng harganya menggunakan harga domestik tapi kalau jual ke perusahaan biodiesel dapatnya harga internasional. Otomatis pilih (menjual ke) biodiesel, dan siapa itu yang buat seperti itu? Ya pemerintah. Jadi biang keladi yang bikin kisruh minyak goreng ini adalah pemerintah karena meninabobokan pabrik biodiesel," tegas Faisal Basri dikutip dari Kontan.co.id, Rabu (16/2/2022).

Faisal menerangkan, pemerintah seharusnya dapat melakukan segala cara untuk mengatasi lonjakan harga CPO, misalnya dengan dana stabilisasi minyak goreng.

Namun pemerintah disayangkan tidak melakukan hal tersebut. Berbeda dengan industri biodiesel yang memperoleh subsidi yang berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS).

"Masa tidak rela Rp 20 triliun untuk stabilisasi harga minyak goreng, mengapa yang namanya perusahaan biodiesel dapat ratusan triliun dari tahun 2015 sampai 2021. Rp 7 triliun dana subsidi minyak habis tidak dilanjutkan. Pelit ke rakyat," kata Faisal.

Menurut Faisal Basri, komposisi pengguna CPO dalam negeri industri pangan tahun 2019 sebesar 58,9 persen menurun dari tahun ke tahun hingga 2021 menjadi 48,4 persen.

Penurunan penggunaan CPO ke industri pangan diperkirakan masih akan berlanjut di 2022.

Faisal Basri memperkirakan penurunannya menjadi 46,6 persen. Berbanding terbalik dengan komposisi pengguna CPO di industri biodiesel yang pada 2019 hanya 34,5 persen kemudian naik dari tahun ke tahun hingga pada 2021 menjadi 40,1 persen.

Kemudian di tahun ini diperkirakan masih akan naik menjadi 42,9 persen. Demikian juga di industri oleokimia yang terus naik dari 2019 hanya 6,6 persen menjadi 11,5 persen di 2021.

Faisal menerangkan, pemerintah seharusnya dapat melakukan segala cara untuk mengatasi lonjakan harga CPO, misalnya dengan dana stabilisasi minyak goreng.

Namun pemerintah disayangkan tidak melakukan hal tersebut. Berbeda dengan industri biodiesel yang memperoleh subsidi yang berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS).

"Masa tidak rela Rp 20 triliun untuk stabilisasi harga minyak goreng, mengapa yang namanya perusahaan biodiesel dapat ratusan triliun dari tahun 2015 sampai 2021. Rp 7 triliun dana subsidi minyak habis tidak dilanjutkan. Pelit ke rakyat," kata Faisal.

Menurut Faisal, komposisi pengguna CPO dalam negeri industri pangan tahun 2019 sebesar 58,9% menurun dari tahun ke tahun hingga 2021 menjadi 48,4%.

Penurunan penggunaan CPO ke industri pangan diperkirakan masih akan berlanjut di 2022. Faisal memperkirakan penurunannya menjadi 46,6%.

Berbanding terbalik dengan komposisi pengguna CPO di industri biodiesel yang pada 2019 hanya 34,5% kemudian naik dari tahun ke tahun hingga pada 2021 menjadi 40,1%. Kemudian di tahun ini diperkirakan masih akan naik menjadi 42,9%. Demikian juga di industri oleokimia yang terus naik dari 2019 hanya 6,6% menjadi 11,5% di 2021.

Lebih lanjut Faisal menjelaskan bahwa alokasi dana BPDPKS sangat jomplang. Dimana alokasi dana BPDPKS dari Juli 2015 sehingga Desember 2021 untuk subsidi biofuel mencapai Rp 110 triliun atau 79,04%. Kemudian untuk peremajaan sawit rakyat hanya 6,6 ton atau 4,73%.

"Ini pemerintah, tidak ada keberpihakan ke rakyat. Ini dana rakyat 34% itu dari keringat rakyat. Siapa pengusaha pengusaha sawit itu ada 22 yang menikmati subsidi biodiesel," ungkapnya.

Kondisi saat ini disebut sebagai diskriminasi terhadap harga CPO untuk industri biodiesel dan industri pangan. Faisal tidak setujui jika kelangkaan minyak goreng akibat tingginya jumlah ekspor CPO Indonesia yang dinilai menyebabkan kelangkaan CPO.

Hal tersebut lantaran ekspor CPO Indonesia hanya naik nol koma sekian persen. Demikian juga penurunan produksi sawit juga bukan merupakan biang keladi kelangkaan minyak goreng. Faisal mengakui produksi CPO tahun 2021 mengalami turun, namun diklaim sangat sedikit sekali.

"Kenapa 2021 turun? Cara pemupukan 2019 kurang bagus sehingga produksinya 2021 turun, produksinya kecil turunnya cuman 0,2 doang bukan karena kelangkaan CPO sekali lagi. Ini Ekspor kita juga nggak meningkat tajam kok cuma nol koma sekian meningkatnya harga melonjak di pasar internasional ekspor itu nggak naik bukan karena ekspornya tinggi," paparnya. (Tribunnews.com/Tribun Medan/Anisa/Eki Yulianto/tribun cirebon/Kontan)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas