Tekan Harga Daging Sapi, Pemerintah Bisa Ambil Kebijakan Ini dalam Jangka Pendek
Komisi VI DPR meminta pemerintah membuat kebijakan jangka pendek dan panjang untuk mengatasi kenaikan harga daging sapi
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi VI DPR meminta pemerintah membuat kebijakan jangka pendek dan panjang untuk mengatasi kenaikan harga daging sapi yang mencapai Rp 140 ribu per kilogram.
Wakil Ketua Komisi VI DPR Martin Manurung mengatakan, mahalnya harga daging sapi karena selama ini pemerintah mengimpor dari Australia untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.
Namun, negara tersebut saat ini sedang melakukan upaya repopulasi setelah kekeringan, sehingga populasi sapi terbatas.
Baca juga: Ternyata Ini Penyebab Harga Daging Sapi Rp 140.000 Per Kg, Pedagang Tak Sanggup Tanggung Rugi
"Untuk itu, dalam mencapai swasembada daging sapi maka terdapat dua kebijakan yang bisa di ambil oleh pemerintah, short term (jangka pendek) dan long term (jangka panjang)," kata Martin saat dihubungi, Rabu (2/3/2022).
Kebijakan jangka pendek, kata Martin, pemerintah bisa mengimpor daging kerbau sebagai subsitusi daging sapi dan harganya pun lebih murah ketimbang dengan daging sapi.
"Langkah tersebut sering dilakukan oleh pemerintah dan berhasil untuk menekan lonjakan harga daging sapi jelang bulan Ramadhan dan hari raya idul fitri. Namun, yang perlu digarisbawahi, seharusnya subsitusi tersebut hanya dilaksanakan dalam kondisi darurat saja," ucap Martin.
Baca juga: Mulai Besok Pedagang Daging Sapi Mogok Berjualan, Kementan Tegaskan Stok Aman hingga Lebaran
Selain itu, pemerintah juga perlu membuka keran impor daging sapi dari negara lain selain Australia misalnya Brazil, India, dan Meksiko untuk menstabilisasikan harga.
Tapi, Martin mengingatkan impor daging sapi jangan dilakukan untuk negara yang belum bebas dari penyakit kuku dan mulut (PMK).
Sedangkan jangka panjang, pemerintah harus memperbaiki industi hulu perternakan sapi.
"Pemerintah lakukan pengembangan pembibitan sapi pada daerah yang mempunyai cukup sumber pakan, terdapat lahan cukup luas untuk membangun pasture dan mempunyai prasarana transportasi yang cukup baik untuk memperlancar kegiatan distribusinya," tuturnya.
Kemudian, lakukan pengendalian pemotongan sapi betina produktif, karena seseorang jika sedang membutuhkan uang cenderung untuk menjual apa saja yang dimiliki termasuk sapi betina produktif.
"Lalu membenahi administrasi dan birokrasi, serta transparansi dalam pelaksanaan impor," ucap politikus NasDem itu.
Terakhir, pemerintah perlu membuka persaingan impor sapi dari banyak negara yang selama ini bergantung dari Australia.
"Indonesia sangat bergantung kepada Australia, sehingga ketika ada gejolak produksi sapi di Australia maka Indonesia mendapatkan imbasnya," ujar Martin.