Sempat Anjlok hingga Diejek Presiden Biden, Rubel Rusia Kembali Perkasa
Jatuhnya rubel Rusia menarik tanggapan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden yang mengatakan rubel telah menjadi “rubble” atau “puing-puing”.
Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, MOSKOW - Jatuhnya nilai rubel Rusia selama berlangsungnya konflik di Ukraina, menjadi pertanda adanya dampak dari sanksi keuangan yang diterima Rusia.
Sanksi internasional yang diberikan pihak Barat telah menenggelamkan nilai rubel ke rekor terendah yaitu 121,5 per dolar AS, dan memicu kembali ingatan Rusia saat menghadapi krisis keuangan mereka di tahun 1998.
Jatuhnya rubel Rusia menarik tanggapan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden yang mengatakan rubel telah menjadi “rubble” atau “puing-puing”.
Baca juga: Hongaria Pertimbangkan Bayar Pasokan Gas Rusia Gunakan Rubel
Dilansir dari bloomberg.com, nilai Rubel kembali menguat dan menempati posisinya semula sebelum Putin menginvasi Ukraina, yang ditutup pada 79,7 per dolar AS pada Rabu (6/4/2022) kemarin.
Hal ini memicu spekulasi, walaupun Rusia menerima serangkaian sanksi yang menargetkan pemerintahannya, oligarki, dan operasi bisnisnya, namun sanksi Barat akan melemah jika mereka masih menggunakan minyak dan gas alam Rusia yang malah akan mendukung menguatnya nilai Rubel.
Bahkan saat Rusia terputus dari ekonomi global, Bloomberg Economics memperkirakan Rusia telah memperoleh hampir 321 miliar dolar AS dari ekspor energi tahun ini, naik lebih dari sepertiga dari tahun 2021.
Baca juga: Pemerintah Slovakia Bersedia Bayar Gas dari Rusia Gunakan Rubel
Memulihnya nilai rubel Rusia, memberi Putin kemenangan besar atas negaranya, bahkan saat pasukan militernya di Ukraina dikabarkan melemah dan kecaman dunia yang terus datang karena serangan yang mereka lakukan.
Ahli strategi pasar berkembang di Generali Insurance Asset Management, Guillaume Tresca mengatakan, bagi Rusia ini adalah saat yang tepat untuk menyebut sanksi Barat tidak berdampak bagi mereka.
"Bagi para politisi, ini adalah alat PR yang baik dengan mengatakan bahwa sanksi tidak berdampak apa pun. Dan itu akan membantu membatasi dampak inflasi," kata Guillaume Tresca.
Untuk menanggapi sanksi Barat, Rusia telah memberlakukan kontrol modal, yang tampaknya berhasil memperkuat nilai rubel.
Baca juga: Rusia Denda Google 2 Juta Rubel Lantaran Gagal Hapus Informasi Palsu di YouTube
Selain itu, Rusia juga membekukan aset yang dipegang investor asing dan mengarahkan agar perusahaan Rusia mengubah 80 persen mata uang asing yang mereka pegang menjadi rubel.
Menteri Keuangan AS Janet Yellen mengatakan pada hari Rabu kemarin di depan Kongres, untuk memperingatkan agar tidak menarik kesimpulan atau pendapat tentang sanksi Barat atas kabar kebangkitan nilai rubel.
Namun perekonomian Rusia diperkirakan memang akan stabil, selama mereka menerima pesanan minyak dan gas. Pembelian minyak dan gas dari negara itu, akan memberi surplus transaksi berjalan kepada Rusia dan melemahkan upaya sanksi Barat pada Rusia.
Untuk saat ini, Rusia sendiri telah berhasil menstabilkan pasar lokal, yang berarti upaya pihak Barat untuk menjatuhkan sanksi agar memperlemah perekonomian Rusia, harus mengatur ulang strateginya.
Dan baru-baru ini, Departemen Keuangan AS telah memotong akses Rusia untuk membayar hutangnya menggunakan dolar AS yang dibekukan di bank-bank Amerika Serikat. Upaya ini dinilai dapat menguras cadangan dolar Rusia atau bahkan membuat Rusia gagal membayar hutangnya.
Pakar ekonomi menunjukkan kemungkinan adanya sanksi keuangan yang lebih ketat pada Rusia, yang mungkin dapat lebih keras dari sanksi sebelumnya yaitu memutus bank Rusia dari sistem pembayaran global SWIFT.
Analis senior di Firma riset Tellimer Ltd, Paul Domjan memperingatkan agar tidak mempercayai reli pasar di tengah negosiasi yang berpotensi mengakhiri perang di Ukraina.
“Jangan membeli demonstrasi damai. Investor harus sangat berhati-hati tentang reli pasar menyusul berita tentang pembicaraan damai. Akan ada banyak fajar palsu saat dunia dengan gagah berani berusaha untuk mengakhiri perang ini.” ungkap Paul Domjan.
Putin sendiri telah mengubah strategi perangnya di Ukraina dengan memindahkan pasukan Rusia dari ibu kota Ukraina Kiev, setelah pasukannya gagal menaklukan Kiev.
Jual migas dengan rubel, mata uang Rusia kembali menguat
Presiden Vladimir Putin menetapkan kebijakan untuk pembeli asing agar melakukan pembayaran dengan mata uang rubel, saat membeli pasokan minyak dan gas dari Rusia.
Keputusan ini telah membuat nilai rubel menguat kembali, dan pada Kamis (31/3/2022) pekan lalu, nilai rubel berada di level 84 per dolar AS.
Dilansir dari Tribunnews.com, Putin menandatangani dekrit yang mengatakan pembeli asing harus membayar dalam rubel untuk gas Rusia yang berlaku mulai 1 April 2022, dan kontrak akan dihentikan jika pembayaran ini tidak dilakukan.
Putin menyebut pembeli asing yang membeli gas mereka harus membuka rekening rubel di bank Rusia.
“Untuk membeli gas alam Rusia, mereka harus membuka rekening rubel di bank Rusia. Dari rekening-rekening inilah pembayaran akan dilakukan untuk pengiriman gas mulai besok. Jika pembayaran tersebut tidak dilakukan, kami akan menganggap ini sebagai default dari pihak pembeli, dengan semua konsekuensi berikutnya. Tidak ada yang menjual apa pun kepada kami secara gratis, dan kami juga tidak akan melakukan bentuk amal yaitu, kontrak yang ada akan dihentikan,” kata, Putin Kamis (31/3/2022) waktu setempat.
Namun perusahaan dan pemerintah Barat langsung menolak permintaan Putin dan menganggapnya sebagai pelanggaran kontrak yang ada, yang menetapkan mata uang euro atau dollar AS sebagai mata uang dalam pembelian minyak dan gas dari Rusia.
Bayar Gas Pakai Rubel Cuma Prototipe, Rusia Pertimbangkan Memperluas ke Kelompok Barang Baru
Skema pembayaran rubel Presiden Vladimir Putin untuk gas alam adalah prototipe yang akan diperluas Rusia ke ekspor utama lainnya.
Langkah ini diambil karena Barat telah menutup pelemahan dolar AS dengan membekukan aset Rusia.
Informasi saja, protipe merupakan rupa yang pertama atau rupa awal atau standar ukuran dari sebuah entitas.
Melansir Reuters, perekonomian Rusia menghadapi krisis paling parah sejak runtuhnya Uni Soviet pada 1991 setelah Amerika Serikat dan sekutunya memberlakukan sanksi yang melumpuhkan karena invasi Putin pada 24 Februari di Ukraina.
Tanggapan ekonomi utama Putin sejauh ini adalah perintah pada 23 Maret agar ekspor gas Rusia dibayar dalam rubel. Namun skema tersebut memungkinkan pembeli membayar dalam mata uang kontrak yang kemudian ditukarkan menjadi rubel oleh Gazprombank.
"Ini adalah prototipe sistem," kata juru bicara Kremlin Dmitry Peskov kepada televisi pemerintah Channel One Rusia tentang rubel untuk sistem pembayaran gas.
"Saya tidak ragu bahwa itu akan diperluas ke kelompok barang baru," kata Peskov. Dia tidak memberikan kerangka waktu untuk langkah seperti itu.
Peskov mengatakan bahwa keputusan Barat untuk membekukan cadangan bank sentral senilai 300 miliar dolar AS adalah "perampokan" yang akan mempercepat perpindahan dari ketergantungan pada dolar AS dan euro sebagai mata uang cadangan global.
Kremlin, katanya, menginginkan sistem baru untuk menggantikan kontur arsitektur keuangan Bretton Woods yang didirikan oleh kekuatan Barat pada tahun 1944.
"Jelas bahwa -bahkan jika ini merupakan prospek yang jauh- kita akan datang ke beberapa sistem baru yang berbeda dari sistem Bretton Woods," kata Peskov.
Sanksi Barat terhadap Rusia, katanya, telah "mempercepat erosi kepercayaan terhadap dolar dan euro."
Putin mengatakan "operasi militer khusus" di Ukraina diperlukan karena Amerika Serikat menggunakan Ukraina untuk mengancam Rusia dan Moskow harus bertahan melawan penganiayaan terhadap orang-orang berbahasa Rusia oleh Ukraina.
Baca juga: Putin Ancam akan Hentikan Pasokan Gas jika Eropa Tak Bersedia Bayar Pakai Rubel
Ukraina telah menolak klaim penganiayaan Putin dan mengatakan sedang memerangi perang agresi Rusia yang tidak beralasan.
Pejabat Rusia telah berulang kali mengatakan upaya Barat untuk mengisolasi salah satu produsen sumber daya alam terbesar di dunia adalah tindakan irasional yang akan menyebabkan melonjaknya harga bagi konsumen. Kondisi itu akan membuat Eropa dan Amerika Serikat mengalami resesi.
Baca juga: NEWS HIGHLIGHT: Saat Kebijakan Putin Jual Migas Pakai Rubel, Mata Uang Rusia Kini Kembali Perkasa
Rusia telah lama berusaha untuk mengurangi ketergantungan pada mata uang AS, meskipun ekspor utamanya - minyak, gas dan logam - dihargai dalam dolar di pasar global.
Secara global, dolar sejauh ini merupakan mata uang yang paling banyak diperdagangkan, diikuti oleh euro, yen, dan poundsterling Inggris.