Dampak Konflik Ukraina, Krisis Pangan dan Gizi Afrika Semakin Buruk, Bakal Tembus Rekor Tertinggi
analis memperkirakan jumlah warga Afrika Barat dan Tengah yang terkena dampak krisis pangan dan gizi akan mencapai rekor tertinggi pada Juni 2022.
Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Seorang analis ketahanan pangan Kader Harmonis memperkirakan jumlah warga Afrika Barat dan Tengah yang terkena dampak krisis pangan dan gizi akan mencapai rekor tertinggi pada Juni 2022.
Rekor ini diperkirakan akan naik sebanyak 4 kali lipat dalam 3 tahun, dari 10,7 juta penduduk pada tahun 2019 menjadi 41 juta penduduk di tahun ini.
Krisis pangan dan gizi akan semakin diperparah dengan adanya krisis iklim, gangguan sistem pangan, produksi pangan terbatas, hambatan perdagangan regional dan kejatuhan sosial ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang telah menghancurkan perekonomian nasional.
Baca juga: Imbas Konflik Rusia Vs Ukraina, Harga Pangan Dunia Cetak Rekor Tertinggi, Picu Krisis Global
Selain itu, konflik yang sedang berlangsung di Ukraina juga mengganggu perdagangan pangan global, pupuk dan produk minyak yang mengakibatkan tingginya produk pertanian yang sudah mencapai rekor tertinggi di wilayah itu.
Setelah konferensi tingkat tinggi di Paris, Prancis yang membahas mengenai keamanan pangan dan gizi di Afrika Barat pada Selasa (6/4/2022) kemarin, Dana Internasional untuk Pembangunan Pertanian (IFAD) dan Program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (WFP), menyerukan komitmen politik dan keuangan jangka panjang untuk mengatasi krisis ketahanan pangan dan gizi terburuk yang melanda kawasan ini dalam sepuluh tahun.
Baca juga: Di Ambang Turbulensi, Krisis Ukraina Ancam Ketahanan Pangan Global, Pasokan Semakin Menipis
Direktur Regional WFP untuk wilayah Afrika Barat, Chris Nikoi mengatakan kebutuhan pangan di wilayah Afrika Barat telah meningkat lebih cepat, dan diperlukan perubahan langkah untuk memenuhi permintaan kebutuhan pangan.
“Situasinya semakin tidak terkendali. Kebutuhan meningkat jauh lebih cepat daripada yang dapat kami tanggapi saat ini ini dalam lingkungan operasional yang sangat kompleks dan mudah berubah. Baik pemerintah maupun mitra membutuhkan perubahan langkah dalam mengatasi penyebab utama kelaparan dan kekurangan gizi. Tindakan politik yang berani dan ketat diperlukan sekarang, termasuk menghilangkan hambatan terhadap perdagangan regional dan memastikan kebutuhan paling mendesak terpenuhi selama musim paceklik yang diproyeksikan akan sangat menantang di kawasan ini” kata Chris Nikoi, yang dikutip dari laman reliefweb.int.
Sementara itu, harga makanan secara mengejutkan melonjak sebesar 40 persen, di beberapa negara seperti Liberia, Sierra Leone, Nigeria, Burkina Faso, Togo, Niger, Mali, dan Mauritania.
Koordinator Sub-Regional untuk Afrika Barat dan perwakilan FAO di Senegal, Dr Gouantoueu Robert Guei mengungkapkan saat ini FAO sedang berusaha untuk mengatasi krisis pangan di Afrika Barat dengan mengembangkan sistem pangan dan pertanian.
“Krisis pangan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang dihadapi kawasan ini menawarkan kesempatan bagi kami untuk mengatasi akar penyebab kerawanan pangan di sub-kawasan dengan mengembangkan sistem pangan dan pertanian yang tidak terlalu bergantung pada guncangan eksternal, dan pertanian lokal yang lebih produktif dan efisien dengan penekanan khusus pada konsumsi produk makanan lokal” kata Dr Gouantoueu Robert Guei.
Baca juga: Rusia Tunjuk Alexander Dvornikov Jadi Komandan Baru Perang di Ukraina, Dijuluki Jagal Suriah
Sedangkan di beberapa negara perlu mendapat perhatian serius mengenai ketahanan pangan dan gizi mereka, khususnya di negara-negara Sahel seperti Burkina Faso, Mali, Mauritania, Niger dan Chad. Di negara-negara tersebut, diperkirakan enam juta balita akan menderita kekurangan gizi akut di tahun ini.
Perwakilan IFAD Regional di Afrika Barat, Benoit Thierry mengatakan Pemerintah di wilayah Afrika perlu mendukung rencana pertanian jangka panjang.
“Afrika memiliki potensi lahan subur terbesar yang belum dimanfaatkan, namun sebagian besar negara ini mengimpor makanan. Pemerintah perlu mendukung rencana pertanian jangka panjang untuk generasi berikutnya, termasuk investasi dalam mengembangkan pertanian, peternakan dan perikanan untuk mencapai ketahanan pangan”, kata Benoit Thierry.
Di tengah konflik Ukraina, Lebanon menghadapi krisis Gandum
Menteri Ekonomi dan Perdagangan Lebanon, Amin Salam mengatakan Lebanon menghadapi masalah kekurangan pasokan gandum. Negara ini telah kehilangan cadangan nasionalnya dalam ledakan Beirut yang terjadi pada tahun 2020.
Baca juga: Invasi Rusia ke Ukraina Ganggu Pasokan Gandum, Wilayah Timur Tengah Dibayangi Krisis Pangan
“Jadi, ini menciptakan tantangan tambahan bagi Lebanon karena sejauh ini kami telah menggunakan silo sektor swasta untuk menyimpan gandum.” ujar Amin Salam.
Dilansir dari arabnews.com, Lebanon mengimpor sekitar 80 persen gandumnya dari Rusia dan Ukraina dan baru-baru ini berjuang untuk mencari pasokan baru untuk memenuhi permintaan gandum di negaranya. Selain gandum, Lebanon juga menghadapi tantangan kekurangan pasokan minyak bunga matahari dan gula.
Salam menambahkan Lebanon telah gagal untuk pulih dari tekanan inflasi pandemi COVID-19.
“Daya beli sangat rendah, dan (ada) banyak tantangan lain termasuk jumlah besar pengungsi per kapita yang kita miliki di Lebanon yang menambah lapisan tantangan lain.”
Saat ini Lebanon sedang dalam pembicaraan dengan masyarakat internasional untuk membantu memulihkan ekonominya. Beberapa negara termasuk Amerika Serikat dan Prancis ikut tergabung dalam pembicaraan internasional ini, yang membahas mengenai pasar alternatif potensial untuk produk makanan.
“Kami berharap negara-negara itu dapat mendukung kami dengan rantai pasokan,” ungkap Salam.
Lebanon juga sedang mengerjakan sebuah program utama dengan Bank Dunia, yang diharapkan akan segera diluncurkan dalam beberapa minggu mendatang. Delegasi IMF yang berada di Lebanon, dikabarkan sedang mencapai kesepakatan untuk menyelamatkan perekonomian negara tersebut.
“Sejauh ini, semuanya bergerak sangat positif. Kami berharap segera ada kesepakatan kepegawaian, yang menempatkan kereta di jalurnya.”
Salam juga mengatakan IMF dapat membantu Lebanon keluar dari krisisnya.
“Kami tahu bahwa cadangan nasional kami berada di tempat yang sangat sulit. Tetapi kami sangat yakin bahwa perjanjian IMF akan membantu Lebanon keluar dari krisisnya.”