Regulasi Pelabelan BPA Segera Terbit, BPOM Sesalkan Industri yang Berpandangan Salah
Bisphenol A merupakan senyawa kimia yang banyak digunakan di berbagai macam produk rumah tangga yang berisiko menyebabkan kanker dan kemandulan.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, Penny K. Lukito, menyesalkan pihak-pihak produsen AMDK yang menentang keras rencana pelabelan risiko Bisfenol A atau BPA pada galon guna ulang meski dengan dasar pemahaman yang salah.
Bisphenol A (BPA) merupakan senyawa kimia yang banyak digunakan di berbagai macam produk rumah tangga seperti pada galon air isi ulang yang berisiko menyebabkan kanker dan kemandulan.
"Memang ada beberapa pihak, ini adalah industri-industri tertentu yang merasa akan dirugikan padahal dengan pandangan yang salah," katanya dalam sebuah rapat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin (4/4/2022).
Menurut Penny, regulasi pelabelan risiko BPA tersebut sangat penting untuk kesehatan publik dan karena itulah BPOM berkomitmen memperjuangkan pengesahannya.
"Draft peraturan pelabelan BPA itu sebenarnya sudah selesai harmonisasi di Kementerian Hukum, dan kami juga sudah menulis surat ke Presiden Joko Widodo, melalui Sekretariat Kabinet dan Sekretariat Negara, meminta agar draft tersebut segera difinalkan," katanya menjawab pertanyaan Dewan yang cemas rancangan peraturan tersebut kandas akibat lobi-lobi gelap sejumlah pihak.
Penny mengungkapkan, sejalan dengan menunggu proses pengesahan, BPOM segera mengambil langkah dengan melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat terkait potensi bahaya BPA pada galon guna ulang.
"Kegiatan itu akan paralel dengan proses pengesahannya," katanya.
Anggota DPR desak regulasi segera diterbitkan
Dalam kesempatan rapat tersebut, Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Ratu Ngadu Bonu Wulla pun turut mendesak BPOM untuk segera menerbitkan regulasi pelabelan BPA pada semua kemasan pangan, termasuk pada air minum kemasan.
"Penelitian mengatakan bahwa kelompok rentan, yakni bayi usia 6-12 bulan, berisiko 2,4 kali dan anak usia 1-3 tahun berisiko 2,12 kali dibandingkan kelompok dewasa usia 30-64 tahun," katanya. "Artinya apa, pelabelan sudah mendesak dan tepat supaya bayi, balita dan janin tidak mengonsumsi air galon guna ulang."
Ratu Ngadu menjelaskan, residu BPA pada galon guna ulang bisa berpindah dari kemasan ke air akibat sejumlah faktor, termasuk paparan sinar matahari. Semakin tinggi suhu dan lama durasi kontak maka semakin banyak jumlah BPA yang dapat mencemari makanan atau minuman.
Terlebih, yang mengkhawatirkan, lanjutnya, BPA yang melebihi ambang batas memiliki efek samping buruk untuk tubuh jika sampai termakan atau terminum dari kemasan yang digunakan.
"Efek samping yang bisa muncul adalah peningkatan risiko penyakit jantung, kanker, kelainan organ hati, diabetes dan gangguan otak serta perilaku pada anak kecil," katanya.
Selain itu, hasil uji post-market BPOM pada Januari 2022 atas level migrasi BPA pada galon guna ulang yang beredar luas di masyarakat juga "menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan".
Ini merupakan peringatan pertama BPOM setelah lima tahun berturut-turut sebelumnya lembaga menyatakan migrasi BPA pada galon guna ulang masih di level yang aman.
Menurut Ratu Ngadu, regulasi pelabelan BPA merupakan hal yang penting untuk memastikan mutu dan keamanan galon yang beredar luas di masyarakat.
Regulasi serupa, katanya, bisa meningkatkan kesadaran pelaku usaha atas pentingnya informasi yang akurat dan lengkap dari produk pangan serta untuk memproduksi pangan yang berkualitas, aman dikonsumsi dan mengikuti standar yang berlaku.
Lebih jauh, Ratu Ngadu turut meminta BPOM untuk waspada terhadap pihak-pihak yang menentang lahirnya peraturan pelabelan risiko BPA.
Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan serta organisasi lobi industri air kemasan termasuk yang vokal dalam menyatakan penentangan terbuka atas rencana pelabelan risiko BPA yang digulirkan BPOM.
Pejabat asosiasi kerap menggambarkan inisiatif regulasi labelisasi BPA ini sebagai "vonis mati" atas industri yang sebagian besar produknya menggunakan galon kemasan plastik keras polikarbonat. Menurut asosiasi, bila pelabelan sampai disahkan, publik akan beralih ke galon dengan kemasan plastik lunak yang bebas BPA.
Namun, Ratu Ngadu menepis argumen itu. Menurutnya, pelabelan risiko BPA tidak akan berpengaruh pada pasar.
Dia mencontohkan penjualan rokok yang telah melejit meski pemerintah mewajibkan pemasangan label bahaya merokok di setiap kemasan yang beredar di pasar.
"Yang terpenting adalah negara harus hadir untuk memberikan edukasi dan mengingatkan pada masyarakat terkait bahaya BPA," katanya.
Draft peraturan BPOM tentang pelabelan risiko BPA antara lain mengharuskan produsen galon yang menggunakan kemasan plastik keras polikarbonat memasang label "Berpotensi Mengandung BPA" terhitung tiga tahun sejak peraturan disahkan.
Adapun produsen yang menggunakan galon dengan kemasan selain polikarbonat, diperbolehkan memasang label "Bebas BPA". (*)