Sri Lanka Desak Warganya di Luar Negeri Bantu Kirim Uang, Ekspatriat Malah Beri Respon Negatif
pemerintah Sri Lanka mendesak warganya yang tinggal di luar negeri untuk mengirim uang bantuan ke negara, Rabu (13/4/2022)
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews, Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, KOLOMBO – Setelah mengumumkan gagal bayar atas default sebesar 51 miliar dolar AS, pemerintah Sri Lanka mendesak warganya yang tinggal di luar negeri untuk mengirim uang bantuan ke negara, Rabu (13/4/2022)
Dana yang dikumpulkan dari para ekspatriat atau warga Sri Lanka yang tinggal sementara maupun menetap di luar negari, rencananya akan ditujukan untuk membantu pemerintah dalam mencukupi kebutuhan impor masyarakat seperti membeli makanan, obat-obatan serta bahan bakar kendaraan.
“Kami membutuhkan bantuan warga Sri Lanka di luar negeri untuk mendukung negara pada saat yang genting ini,dengan menyumbangkan devisa yang sangat dibutuhkan," jelas Gubernur bank sentral Nandalal Weerasinghe.
Baca juga: Sri Lanka Umumkan Default Usai Gagal Bayar Utang Senilai Rp 732 Triliun
Weerasinghe menambahkan, dengan bantuan dana tersebut nantinya Sri Lanka dapat menghemat pembayaran utang negara yang telah jatuh tempo pada Senin (11/4/2022), senilai 200 juta dolar AS atau setara Rp 2,8 miliar (Dengan satuan USD Rp 14,347)
Bahkan demi merealisasi rencananya ini, pemerintah Sri Lanka dikabarkan telah membuat rekening bank khusus untuk manampung sumbangan dalam penggalangan dana ekspatriat yang bermukim di Amerika Serikat, Inggris dan Jerman.
Seruan yang disampaikan Weerasinghe lantas menghadirkan pro kontra hingga memunculkan kecurigaan bagi para ekspatriat Sri Lanka.
Sebelum penggalangan ini, pada tahun 2004 silam pemerintah Sri Lanka juga pernah mengadakan penggalangan serupa untuk membantu para korban bencana tsunami.
Namun sayangnya sumbangan uang asing tersebut berakhir di kantong para politisi. Hal inilah yang kemudian membuat ekspatriat khawatir jika dana bantuan tersebut tak dimanfaatkan dengan benar dan justru berakhir sama dengan kejadian sebelumnya.
“Kami tidak keberatan membantu, tetapi kami tidak dapat mempercayai pemerintah dengan uang tunai kami," kata seorang dokter Sri Lanka di Australia kepada AFP.
Sebagai informasi, kondisi perekonomian Sri Lanka saat ini terpantau makin tak kondusif bahkan kekecauan ekonomi ini telah mendorong adanya krisis pangan dan listrik yang berkepanjangan membuat 22 juta warga yang tinggal di negara tersebut terancam.
Baca juga: Antisipasi Memburuknya Inflasi dan Krisis Ekonomi, Sri Lanka Gandakan Suku Bunga
Sri Lanka Umumkan Default
Pemerintah Sri Lanka pada Selasa (11/4/2022) mengumumkan default atau gagal bayar atas utang luar negerinya, senilai 51 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 732 triliun (dengan satuan USD Rp 14.365).
Dilansir dari laman Independent.co.uk, default tersebut terjadi imbas dari adanya pandemi serta perang Rusia- Ukraina, yang membuat sebagian besar harga bahan pangan dan kebutuhan impor menjadi naik.
Dampak inilah yang kemudian membuat krisis ekonomi Sri Lanka makin memburuk hingga menyebabkan terjadinya inflasi.
Kementerian Keuangan Sri Lanka menyebut jika saat ini negaranya tak hanya gagal membayar utang pada para kreditur internasional atau pemerintah asing, namun pihaknya juga kesulitan untuk membayarkan dana moneter internasional dari IMF.
Baca juga: Fakta-fakta Sri Lanka Jadi Negara Bangkrut, Gagal Bayar Utang Luar Negeri, Rakyatnya Mulai Kelaparan
"Peristiwa baru-baru ini telah mengikis posisi fiskal Sri Lanka hingga membayar kewajiban utang publik eksternal menjadi tidak mungkin. Pemerintah mengambil tindakan darurat mencegah memburuknya posisi keuangan " tambah Kementerian Keuangan Sri Lanka.
Kesulitan Sri Lanka dalam membayar utang negara telah mendorong pemerintah pusat untuk mengeluarlkan kebijakan baru dimana nantinya kreditur bebas untuk memanfaatkan pembayaran bunga apa pun yang harus dibayar atau mereka juga bisa memilih pengembalian dalam mata uang rupee Sri Lanka.
Tak hanya itu bahkan demi menghemat pengeluaran negara serta cadangan mata uang asingnya, pemerintah Sri Lanka kini tengah memberlakukan larangan impor yang luas.
Akibat krisis yang berkepanjangan ini, peringkat Sri Lanka dipasar global pun juga ikut menurun jika dibanding dengan tahun lalu.
Bahkan inflasi ini telah membuat cadangan devisa Sri Lanka melemah, terpantau sejak awal krisis hingga kini nilai devisa merosot 16,1 persen dari bulan sebelumnya, hingga membuat nilainya ikut turun menjadi 1,93 miliar.
Hal ini membuat pemerintah harus melakukan pengetatan pada warga negaranya dengan membatasi penggunaan listrik serta pembatasan bantun sembako hingga bahan bakar minyak. Langkah ini sengaja di lakukan agar negara dapat lebih mengehat pengeluaran pada barang pokok tersebut.
Lebih lanjut saat ini menteri keuangan Sri Lanka menyebut jika negaranya tengah membutuhkan 7 miliar dolar AS untuk membayar beban utangnya yang jatuh tempo tahun ini, sementara itu cadangan dana negara yang tersisa tinggalah 1,9 miliar dolar AS pada akhir Maret 2022.
Baca juga: Sri Lanka Umumkan Default Usai Gagal Bayar Utang Senilai Rp 732 Triliun
Sri Lanka Gandakan Suku Bunga
Bank sentral Sri Lanka atau CBSL pada Jumat (8/4/2022) menggandakan suku bunga utamanya. Langkah ini diambil guna mengantisipasi makin memburuknya inflasi serta krisis ekonomi yang sedang melanda wilayahnya.
Dengan adanya penggandaan tersebut kini suku bunga Sri Lanka naik menjadi 700 basis poin, setelah beberapa bulan terakhir suku bunga negara terus mengalami penurunan.
Bahkan saking terpuruknya roda perekonomian Sri Lanka terpaksa berutang lebih banyak kepada otoritas jasa keuangan dunia, akibat menipisnya pendapatan negara untuk membayarkan kebutuhan impor seperti bahan bakar, listrik, makanan,hingga obat-obatan.
Analis JP Morgan memperkirakan total utang bruto Sri Lanka tahun ini telah mencapai 7 miliar dolar AS, dengan jatuh tempo sebesar 1 miliar dolar AS pada Juli 2022 mendatang.
Menteri Keuangan Sri Lanka Ali Sabry sebelumnya telah mengatakan negara harus segera merestrukturisasi utangnya dan mencari bantuan keuangan eksternal.
Namun karena ketidakcakapan presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa dalam mengelola ekonomi justru makin meningkatkan jumlah hutang bruto serta memunculkan adanya mosi tidak percaya pada pemerintah.
Melansir dari CAN, Inflasi di Sri Lanka pada bulan Maret kemarin telah mencapai 18,7 persen, angka ini jauh lebih tinggi dari beberapa bulan sebelumnya.
Para ahli menyebut jika tekanan inflasi Sri Lanka bisa terjadi lantaran beberapa hal diantarnya seperti meningkatnya permintaan konsumsi, gangguan pasokan domestik, depresiasi nilai tukar hingga adanya kenaikan harga komoditas secara global.
Meski dengan menggandakan suku bunga utama belum sepenuhnya dapat mengatasi krisis ekonomi, namun langkah yang diambil gubernur baru CBSL, P Nandalal Weerasinghe diharap bisa mempercepat Sri Lanka untuk untuk keluar dari krisis saat ini.
"Kenaikan suku bunga akan memberikan sinyal kuat kepada investor dan pasar bahwa kami akan keluar dari ini sesegera mungkin,” tambah Panduwawala.