Jokowi Larang Ekspor CPO, Indonesia Berpotensi Kehilangan 3 Miliar Dolar AS
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira melihat, kebijakan ini akan memengaruhi devisa negara.
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo memutuskan untuk melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng.
Rencananya, larangan ekspor ini akan mulai berlaku pada Kamis, 28 April 2022.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira melihat, kebijakan ini akan memengaruhi devisa negara.
Baca juga: Indonesia Larang Ekspor CPO, Tiga Negara Ini Bakal Terkena Dampaknya
Bahkan, dia memperkirakan devisa negara bisa tergerus US$ 3 miliar bila kebijakan ini diterapkan setidaknya satu bulan penuh.
“Jadi estimasi pada bulan Mei, bila pelarangan ekspor berlaku satu bulan penuh, Indonesia akan kehilangan devisa sebesar US$ 3 miliar atau setara Rp 43 triliun,” ujar Bhima seperti dikutip dari Kontan.co.id, Minggu (24/4/2022).
Hal ini merujuk data nilai ekspor crude palm oil (CPO) pada Maret 2022 Indonesia yang mencapai 3 miliar dolar AS. Dengan larangan ini, maka devisa negara akan hilang senilai tersebut, alias 12% dari total ekspor non minyak dan gas (nonmigas).
Dengan potensi melayangnya devisa negara, Bhima khawatir stabilitas nilai tukar rupiah akan terganggu. Belum lagi ada peristiwa global yang menimbulkan ketidakpastian di pasar keuangan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.
Bahkan, dalam jangka pendek, Bhima memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bisa bergerak di kisaran Rp 14.600 per dolar AS hingga Rp 15.000 per dolar AS karena kebijakan ini.
Selain mengurangi devisa, Bhima juga menilai kebijakan ini tidak tepat karena masalah ketersediaan minyak goreng di Indonesia kurangnya pengawasan pada sisi produsen dan distributor.
Baca juga: Pasar Minyak Nabati Global Bergejolak Setelah Jokowi Larang Ekspor CPO hingga Minyak Goreng
Ia juga menilai kebijakan ini belum tentu akan mengurangi harga minyak goreng yang ada di pasaran, apalagi kalau pemerintah tidak menetapkan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) di minyak goreng kemasan.
“Produsen juga bisa mengurangi kapasitas produksi minyak goreng karena permintaan berkurang. Di sini, yang dirugikan adalah harga tandan buah segar (TBS) di level petani. Ini berpotensi anjlok,” tutur Bhima.
Sumber: Kontan