Mantan Bos Goldman Sachs Sebut AS Berisiko Alami Resesi Ekonomi
Mantan CEO raksasa perbankan Goldman Sachs, Lloyd Blankfein menyebut bahwa ekonomi AS kini tengah terancam mengalami resesi
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Mantan CEO raksasa perbankan Goldman Sachs, Lloyd Blankfein menyebut bahwa ekonomi AS kini tengah terancam mengalami resesi, hal tersebut terlihat setelah beberapa kebutuhan pokok mengalami lonjakan harga.
Ancaman resesi yang makin serius bahkan membuat Blankfein mendesak para pelaku bisnis dan konsumen untuk bersiap menghadapi resesi dan inflasi AS.
“Jika saya menjalankan perusahaan besar atau saya seorang konsumen, saya akan sangat siap untuk itu,” kata Blankfein di “Face the Nation” CBS pada Minggu (15/5/2022).
Baca juga: Dunia Diramal Resesi, IMF Pangkas Proyeksi Ekonomi Global Jadi 3,6 Persen
Dilansir dari Reuters, resesi ekonomi yang terjadi di AS mulai terlihat setelah negeri Paman Sam ini mengalami lonjakan harga pada komoditas bahan bakar serta kelangkaan susu formula bayi.
Adanya lonjakan serta kelangkaan tersebut bahkan telah memicu kegelisahan warga Amerika hingga mendorong lonjakan harga konsumen AS sebanyak 8,3 persen pada April, angka ini jauh lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
Baca juga: Selamatkan Negara dari Jurang Resesi, Jerman Lanjutkan Impor Gas dari Rusia
Blankfein khawatir jika lonjakan pada indeks harga konsumen terus meningkat maka ditakutkan dapat memicu terjadinya kemerosotan berlebih pada kepercayaan konsumen pasar AS, terlebih pada awal Mei lalu tingkat kepercayaan konsumen telah jatuh level terendah sejak 2011 silam. Guncangan tersebut tentunya makin memperparah kondisi perekonomian AS.
Lebih lanjut, tim ekonomi Goldman yang dipimpin oleh Jan Hatzius, menyebut produk domestik bruto AS pada tahun ini hanya tumbuh 2,4 persen dari tahun sebelumnya 2,6.
Penurunan tersebut diprediksi akan terus berlanjut hingga tahun 2023 mendatang dimana produk domestik bruto AS diperkirakan turun keangka 1,6 persen dari 2,2 persen. Meski segala upaya telah dilakukan pemerintah pusat dan bank sentral AS, namun sepertinya cara tersebut belum dapat menghalau adanya inflasi, hingga lonjakan harga konsumen.