Airlangga: Penerapan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon Dorong Industri Lebih Sadar Lingkungan
Airlangga Hartarto mengatakan, Indonesia saat ini dalam proses persiapan penerapan instrumen Nilai Ekonomi Karbon
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, Indonesia saat ini dalam proses persiapan penerapan instrumen Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
Menurutnya, instrumen NEK dapat memberi harga pada emisi karbon yang dihasilkan dari berbagai kegiatan produksi maupun jasa.
"Melalui penerapan instrumen NEK diharapkan dapat mendorong industri lebih sadar lingkungan dan membatasi emisi gas rumah kaca hingga batas tertentu," kata Airlangga dalam webinar Increasing Fiscal Space in Times of Economic Uncertainty, Rabu (8/6/2022).
Baca juga: Dampak Perang, Harga Pangan dan Energi pada Mei 2022 Masih Tinggi, Airlangga: Inflasi RI Terkendali
Ia menambahkan, di sisi lain, instrumen NEK berperan sebagai instrumen pendanaan alternatif untuk mencapai target perubahan iklim Indonesia.
Hal itu baik Nationally Determined Contribution atau NDC 2030 maupun Net Zero 2060.
Pemerintah menerapkan UU No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Perpres No. 98 tahun 2021 untuk mendukung penerapan instrumen NEK.
“Perpres ini menjadi dasar penerapan berbagai instrumen NEK seperti Emission Trading System atau perdagangan emisi, Offset crediting atau kredit karbon, dan Pembayaran Berbasis Kinerja atau Result Based Payment,” urainya.
Sementara di level teknis, pemerintah tengah menyelesaikan peraturan turunan Perpres tersebut.
Pada 2021, pemerintah merintis skema voluntary cap and trade, dan offset crediting, yang melibatkan beberapa produsen listrik baik milik pemerintah maupun swasta.
Baca juga: Holding BUMN MIND ID Gelar Kompetisi Inovasi Hadapi Tantangan Industri Pertambangan
“Secara pararel pemerintah bekerjasama dengan beberapa lembaga internasional dalam melakukan penjajakan dan kajian pengembangan kebijakan-kebijakan dan skema perdagangan karbon melalui Internationally Traded Mitigation Outcomes (ITMOs)," ujarnya.
Ke depan, yaitu pada Juli 2022, Indonesia berencana menerapkan skema cap-trade-tax dan offset untuk Pembangkit Listrik berbahan bakar batubara.
Melalui skema ini, pembangkit listrik betbahan bakar batubara dengan proses yang tidak efisien atau emisi yang lebih tinggi dari batas atas akan dikenakan biaya tambahan.
Senior Director, Energy at the International Institute for Sustainable Development Peter Wooders menyampaikan, penjelasan Menteri Airlangga itu menunjukkan komitmen Indonesia mengenai transisi energi.
"Tentu akan banyak kesulitan dalam mengimplementasikan hal itu," kata dia.
Peter mengatakan, reformasi subsidi bahan bakar fosil untuk merasionalisasi subsidi yang tidak efisien dan menghilangkan subsidi yang tidak tepat.
"Seperti kita tahu subsidi bahan bakar fosil membutuhkan banyak uang. Dengan mengubah anggaran tersebut ke tempat lain menjadi bahan bakar yang lebih ramah lingkungan dan terbarukan, itu lebih baik. Produksi bahan bakar fosil meningkatkan polusi udara. Kita harus reformasi secepatnya," ungkapnya.