Ekonomi 60 Negara di Dunia Akan Ambruk, Jokowi: 42 Dipastikan Sudah Menuju ke Sana
Menurut Jokowi, ekonomi 60 negara di dunia akan ambruk akibat terdampak pandemi dan krisis ekonomi.
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saat berpidato di Rakernas PDIP, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyoroti ekonomi dunia yang saat ini dalam kondisi tidak normal.
Menurut Jokowi, ekonomi 60 negara di dunia akan ambruk akibat terdampak pandemi dan krisis ekonomi.
Perkiraan ini, kata Jokowi berdasarkan perhitungan organisasi bank dunia, dana moneter dunia (IMF), dan PBB.
Baca juga: Pemerataan Pembangunan di Era Jokowi Dinilai Perkuat Nasionalisme
"Angka-angkanya saya diberi tahu, ngeri kita. Bank dunia menyampaikan, IMF menyampaikan, UN PBB menyampaikan. Terakhir baru kemarin, saya mendapatkan informasi, 60 negara akan ambruk ekonominya, 42 dipastikan sudah menuju ke sana," ujar Jokowi saat memberi sambutan pada acara Rakernas PDIP di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta, Selasa (21/6/2022).
"Siapa yang mau membantu mereka kalau sudah 42. Mungkin kalau 1,2,3 negara krisis bisa dibantu mungkin dari lembaga-lembaga internasional. Tapi kalau sudah 42 nanti betul dan mencapai bisa 60 betul, kita ga ngerti apa yang harus kita lakukan," tegasnya.
Oleh karenanya, Jokowi meminta agar Indonesia senantiasa berjaga-jaga, hati-hati, dan waspada. Jokowi menekankan, Indonesia saat ini tidak berada pada posisi normal.
Dia mengingatkan, begitu krisis keuangan masuk ke krisis pangan, masuk ke krisis energi kondisinya akan semakin mengerikan.
"Saya kira kita tahu semuanya. Udah 1,2,3 negara mengalami itu. Tidak punya cadangan devisa, tidak bisa beli BBM, tidak bisa beli pangan, tidak bisa impor pangan karena pangannya, energinya, impor semuanya," jelas Jokowi.
Baca juga: Kunjungan Kerja ke Kaltim, Presiden Jokowi Diagendakan Hadiri Kongres PMKRI
"Kemudian terjebak juga kepada pinjaman utang yang sangat tinggi. Karena debt ratio-nya terlalu tinggi," lanjutnya.
Jokowi kembali mengingatkan masyarakat agar tetap berhati-hati. Terlebih saat ini pemerintah masih terus mensubsidi harga sejumlah komoditas.
Misalnya, bensin Pertalite dengan harga jual Rp 7.650 per liter dan Pertamax seharga Rp 12.000,- per liter.
"Hati-hati ini bukan harga sebenernya lho. Ini adalah harga yang kita subsidi. Dan subsidinya besar sekali. Saya berikan perbandingan saja Singapura harga bensin sudah Rp 31.000, di Jerman harga bensin juga sudah sama Rp 31.000, di Thailand sudah Rp 20.000," ungkap Jokowi.
"Tetapi ini yang harus kita ingat, subsidi kita ke sini itu bukan besar, besar sekali. Bisa dipakai untuk membangun ibu kota satu. Karena angkanya sudah Rp 502 T. Ini semua yang kita harus mengerti," tambahnya.
Baca juga: Terima Kunjungan Dirjen WHO, Presiden Jokowi Diingatkan Pandemi Covid-19 Belum Berakhir
Jokowi Perintahkan Jajaran Antisipasi Krisis Pangan dan Energi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan jajarannya untuk mewaspadai situasi dunia yang tidak dalam kondisi normal serta mengantisipasi krisis pangan dan energi.
Arahan tersebut disampaikan Presiden saat memimpin Sidang Kabinet Paripurna (SKP), di Istana Negara, Jakarta, Senin (20/6/2022)
“Krisis energi, krisis pangan, krisis keuangan sudah mulai melanda beberapa negara. Ada kurang lebih 60 negara yang dalam proses menghadapi tekanan karena utang, sehingga menekan ekonominya, tidak ada devisa, dan masuk pada yang namanya krisis ekonomi, krisis keuangan negara itu. Contohnya satu, dua, tiga sudah mulai kelihatan dan diperkirakan nanti akan sampai ke angka tadi. Inilah yang harus betul-betul kita antisipasi,” ujar Jokowi.
Presiden meminta jajarannya untuk terus menyampaikan perkembangan situasi global saat ini kepada masyarakat, termasuk krisis yang memicu kenaikan harga komoditas pangan dan energi.
Baca juga: Bicara Keragaman Pangan di Rakernas II PDI Perjuangan, Jokowi: Jangan Paksa Warga Papua Makan Nasi
“Sehingga rakyat tahu bahwa posisi kita ini kalau dibandingkan negara lain ini masih pada kondisi yang sangat baik,” ujarnya.
Selain itu, Jokowi meminta jajaran terkait untuk melakukan penghematan sekaligus mencegah ternyata terjadinya kebocoran pada dua sektor tersebut.
“Mana yang bisa diefisiensikan, mana yang bisa dihemat, kemudian mana kebocoran-kebocoran yang bisa dicegah, semuanya harus dilakukan posisi-posisi seperti ini,” ujarnya.
Presiden mencontohkan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor energi yaitu Pertamina dan PLN harus melakukan efisiensi, tidak hanya bergantung dari subsidi pemerintah.
“Jadi terkait dengan krisis energi, baik itu yang namanya BBM, gas, solar, pertalite, pertamax, listrik, ini jangan sampai terlalu mengharapkan, utamanya Pertamina, terutama juga PLN, terlalu mengharapkan dan kelihatan sekali hanya mengharapkan subsidinya di Kementerian Keuangan. Mestinya di sana juga ada upaya-upaya efisiensi. Jadi dua-duanya berjalan,” ujarnya.
Kemudian, dalam jangka waktu pendek Jokowi juga meminta jajarannya untuk meningkatkan produksi sehingga tidak bergantung pada impor.
Baca juga: Harta Jokowi Kini Capai Rp 71,4 Miliar, Naik Rp 37,9 Miliar dalam 8 Tahun
“Saya kira sumur-sumur minyak yang ada sekecil apapun agar didorong produksinya agar meningkat,” ujarnya.
Presiden pun menekankan kepada peserta SKP untuk menjaga agar harga komoditas pangan dan energi di masyarakat bawah tetap stabil dan terjangkau, termasuk minyak goreng.
“Saya tadi menanyakan Bapak Menko Marinves, tanya juga pagi tadi kepada Pak Mendag yang baru, masih minta waktu dua minggu sampai satu bulan agar merata. Saya kira secepatnya memang harus kita usahakan harga itu bisa tercapai agar terjangkau oleh masyarakat bawah,” ujarnya.
Lebih lanjut, Presiden juga menegaskan komitmen pemerintah untuk memberikan subsidi kepada masyarakat dalam menghadapi peningkatan harga komoditas secara global saat ini.
“Walaupun beban fiskal kita berat, pemerintah sudah berkomitmen untuk terus memberikan subsidi kepada masyarakat bawah, baik yang berkaitan dengan BBM, pertalite, dan solar, yang berkaitan dengan gas dan listrik. Ini yang terus harus kita jaga,” ujarnya.
Untuk memberikan kelonggaran fiskal, Kepala Negara kembali menginstruksikan kepada kementerian/lembaga dan BUMN untuk melakukan belanja secara efisien.
“Saya minta kepada kementerian/lembaga dan BUMN, ini melakukan efisiensi belanja yang sebanyak-banyaknya agar pemerintah memiliki kelonggaran fiskal,” ujarnya.
Baca juga: Saat Jokowi Hampir Salah Sebut Nama Kabinet di Rakernas PDIP, Lalu Buru-Buru Diralat
Ekonomi Sri Lanka Terhenti
ktivitas perekonomian Sri Lanka hampir terhenti setelah negara tersebut kehabisan stok bahan bakar minyak (BBM) untuk transportasi.
Dikutip dari moneyweb.co.za, Sabtu (18/6/2022) Pemerintah Sri Lanka mengumumkan hari Jumat (17/6) sebagai hari libur bagi kantor-kantor publik dan sekolah untuk membatasi pergerakan kendaraan,
Sementara itu, ribuan kendaraan mengantre hingga berkilo-kilometer saat para pengemudi menunggu SPBU diisi ulang.
Menteri Tenaga dan Energi Sri Lanka Kanchana Wijesekera mengatakan, Ceylon Petroleum Corp yang dikelola negara belum menerima tender untuk stok bahan bakar baru karena pemasok terhalang oleh pembayaran yang belum dibayar.
“Sri Lanka telah berkomunikasi dengan beberapa perusahaan dan negara lain, termasuk Rusia untuk mengimpor bahan bakar kendaraan melalui jalur kredit baru senilai 500 juta dolar AS.” kata Wijesekera.
Baca juga: Dihantam Krisis Ekonomi, Sri Lanka Hanya Miliki Stok BBM untuk Lima Hari
Krisis ekonomi yang melanda Sri Lanka telah menimbulkan aksi protes selama beberapa bulan terakhir dan menuntut pencopotan Presiden Gotabaya Rajapaksa serta anggota keluarganya dari pemerintah.
“Negara ini akan membutuhkan sekitar 6 miliar dolar AS bantuan dari Dana Moneter Internasional dan negara lain termasuk India dan China, untuk mengatasi krisis ekonomi selama enam bulan ke depan.” kata Perdana Menteri Sri Lanka, Ranil Wickremesinghe.
Otoritas lokal Sri Lanka sedang mengupayakan dana talangan dengan IMF untuk mendapatkan sumber pendanaan baru lainnya.
Ekonomi Sri Lanka kemungkinan mengalami kontraksi pada kuartal pertama, dihantam oleh protes publik, ketidakstabilan politik, harga komoditas yang tinggi, dan gangguan rantai pasokan. (*) (Tribunnews.com/Kontan/Kompas.com)