Sri Lanka Bangkrut, Bagaimana Dampaknya ke Indonesia?
Perekonomian Indonesia diyakini tidak berdampak dengan bangkrutnya negara Sri Lanka akibat gagal bayar utang luar negerinya.benarkah?
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perekonomian Indonesia diyakini tidak berdampak dengan bangkrutnya negara Sri Lanka akibat gagal bayar utang luar negerinya.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, dampak dari bangkrutnya Sri Lanka ke negara Asia dan juga Indonesia relatif kecil, seiring minimnya kegiatan perdagangan dengan negara tersebut.
"Jika kita bicara konteks hubungan perdagangan antara Indonesia dan Sri Lanka sebenarnya tidak terlalu besar," ujar Yusuf saat dihubungi, Jumat (24/6/2022).
Baca juga: Sri Lanka Bangkrut, Cadangan Devisa Seret, India Janji Beri Pinjaman 4 Miliar Dolar
Namun, Yusuf menyebut, kebangkrutan yang terjadi di Sri Lanka bisa memberikan pelajaran bagi negara lain termasuk di dalamnya Indonesia, terutama dalam pengelolaan utang negara.
Jika dilihat dari kasus Sri Lanka, kata Yusuf, struktur utang yang kemudian menjebaknya menjadi bangkrut adalah struktur utang langsung dari hubungan ataupun mitra bilateral atau negara lain.
"Tentu dalam perjanjian pemberian utang hal-hal terkait apa yang bisa dilakukan ketika suatu negara sudah tidak bisa membayarkan utang, menjadi hal krusial yang perlu di lakukan secara hati-hati," ucapnya.
Baca juga: Sri Lanka akan Mengalami Pemadaman Air Selama 10 Jam Mulai Sabtu Mendatang
Dalam konteks Sri Lanka, Yusuf melihat karena tidak bisa membayarkan dan juga dalam perjanjiannya ada pernyataan yang mengatakan ketika negara sudah tidak bisa membayarkan, maka terjadi penyitaan ke aset-aset negara.
"Ini yang kemudian memberatkan posisi Sri Lanka, sehingga akhirnya menjadi negara yang bangkrut," tuturnya.
Lebih lanjut Yusuf mengatakan, stabilitas ekonomi dan politik perlu menjadi perhatian dalam pengelolaan utang negara dalam kasus Sri Lanka.
"Karena kondisi stabilitas politik itu tidak mendukung pada stabilitas ekonomi, sehingga akhirnya ini menjadikan keadaan menjadi lebih buruk dan mereka kemudian sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari pemberi utang kembali," papar Yusuf.