Analis: Suku Bunga The Fed dan Ancaman Resesi Biang Kerok Rupiah Jatuh Hampir Rp 15.000/USD
Analis berpendapat, pemicu utama pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS adalah sentimen Bank Sentral AS atau The Fed dan isu resesi.
Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat keuangan Ariston Tjendra menilai, pemicu utama pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), adalah sentimen Bank Sentral AS atau The Fed dan isu resesi.
Menurutnya medua sentimen di atas masih menguat belakangan ini, di mana Bank Sentral AS sudah tegas mengatakan akan mengutamakan mengendalikan inflasi.
"Utamakan inflasi dibandingkan menjaga pertumbuhan, karena inflasi AS mencapai rekor tertinggi dalam 40 tahun. Ini mendorong dolar AS tambah kuat dibandingkan nilai tukar lainnya," ujarnya melalui pesan singkat kepada Tribunnews.com, Selasa (5/7/2022).
Dia mengatakan, jarak suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) semakin menyempit dengan suku bunga acuan Bank Sentral AS atau The Fed.
"Pelaku pasar tentu lebih tertarik masuk ke aset dolar AS dibandingkan rupiah bila gap yield-nya tidak besar. BI harusnya bisa menjaga asa rupiah dengan menaikan suku bunga acuannya," ujarnya melalui pesan singkat kepada Tribunnews.com, Selasa (5/7/2022).
Menurut dia, BI akan menggunakan berbagai cara untuk memastikan nilai tukar rupiah tidak anjlok terlalu dalam terhadap mata uang greenback.
"Tentu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, meskipun Indonesia menikmati surplus neraca perdagangan dari naiknya harga komoditi," kata Ariston.
Dia menambahkan, surplus ini bisa mengkompensasi penggunaan devisa untuk menjaga nilai tukar rupiah, sehingga bisa membantu menambah suplai dolar AS.
Sementara, isu resesi juga mendorong pelaku pasar keluar dari aset berisiko, dengan makin banyaknya bank sentral dunia melakukan pengetatan moneter, hingga dikhawatirkan akan menekan pertumbuhan ekonomi global.
"Level Rp 15.000 sudah di depan mata. Jadi, kemungkinan tersentuh level tersebut sangat besar, apalagi dengan sentimen The Fed dan resesi yang menguat," pungkasnya.
Dihubungi terpisah, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan, rupiah juga masih dibayangi sentimen negatif di pasar saham.
"Dana asing mencatat jual bersih Rp 572 miliar kemarin di seluruh pasar. Investor memang mencermati risiko kenaikan Fed rate terhadap indonesia, sehingga melakukan penjualan aset berisiko tinggi," katanya.
Baca juga: Rupiah Terus Melemah, Hampir Sentuh Rp 15.000: Pengamat Sarankan BI Kerek Suku Bunga
Selain itu, data inflasi Negeri Paman Sam di Juni 2022 yang cukup tinggi sejak 2017 menjadi kekhawatiran terhadap risiko stagflasi.
Baca juga: Rupiah dan IHSG Kemarin Kompak Melemah, Bagaimana dengan Prediksi Hari Ini?
"Apalagi BI masih menahan suku bunga tentu risk-nya naik di market. Cadangan devisa akan makin tertekan di saat arus modal keluar tinggi, sekaligus kinerja ekspor komoditas mulai terkoreksi," pungkasnya.
Rupiah dan IHSG Kompak Melemah
Seperti diketahui, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kompak melemah pada perdagangan Senin kemarin, 4 Juli 2022.
Nilai tukar rupiah semakin melemah dan mendekati level Rp 15.000 per dolar AS. Pada Senin (4/7/2022), rupiah melemah 29 poin ke posisi Rp 14.971 dari penutupan hari sebelumnya Rp 14.942 per dolar AS.
Sementara, kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia(BI) melemah ke posisi Rp 14.970 per dolar AS dibandingkan hari sebelumnya Rp 14.956 per dolar AS.
"Untuk perdagangan besok, mata uang rupiah kemungkinan dibuka berfluktuatif tapi ditutup melemah di rentang Rp 14.960 sampai Rp 15.020 dolar AS," kata Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi.
Menurutnya, penguatan dolar AS karena investor mencari keamanan seiring kekhawatiran tentang perlambatan pertumbuhan global.
"Investor sekarang menunggu risalah dari pertemuan Fed pada Juni yang dijadwalkan pada hari Rabu. Ini hampir pasti terdengar hawkish mengingat The Fed memilih untuk menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin," ujarnya.
Sentimen internal, Ibrahim menyebut pelaku pasar terus menyoroti tingginya inflasi global yang berdampak terhadap inflasi di Indonesia.
"Tingginya inflasi bisa memberikan ketidakpastian dan mengganggu potensi pertumbuhan, sehingga pemerintah harus meningkatkan kewaspadaan dari kemungkinan kenaikan inflasi hingga akhir 2022," katanya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi tahunan sebesar 4,35 persen (yoy) pada Juni 2022 atau sedikit lebih tinggi dari proyeksi empat persen plus minus satu persen. Realisasi ini merupakan yang tertinggi sejak Juni 2017.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan inflasi Indonesia yang mencapai 4,35 persen pada Juni kemarin turut menekan pergerakan rupiah.
Pasalnya, kenaikan inflasi domestik tersebut mendorong ekspektasi potensi kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI).
"Kurs rupiah terhadap dollar AS diperkirakan akan berada pada rentang Rp 14.850 hingga Rp 14.950," ucap dia.
Setali tiga uang, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga tak mampu bangkit dari zona merah dan berakhir melemah pada penutupan perdagangan sesi II di Bursa Efek Indonesia (BEI) kemarin.
IHSG ditutup melemah 2,28 persen pada level 6.639,172.
Melansir RTI, terdapat 109 saham yang hijau, 460 saham merah, dan 119 saham lainnya stagnan. Jumlah transaksi mencapai Rp 11,9 triliun dengan volume 19,2 miliar saham.
Saham yang menahan indeks antara lain GoTo Gojek Tokopedia (GOTO) turun 6,49 persen, Ace Hardware Indonesia (ACES) turun 6,45 persen, dan Ever Shine Tex (ESTI) turun 6,3 persen.
Emiten yang mencatatkan kenaikan paling tinggi pada sesi perdagangan hari ini ialah, Pelangi Indah Canindo (PICO) yakni sebesar 34,04 persen, Harapan Duta Pertiwi (HOPE) naik 20,61 persen, dan Indo Pureco Pratama (IPPE) naik 11,36 persen.
Berbeda dengan IHSG, tiga bursa utama Asia, yakni Nikkei, Shanghai Komposit, dan Straits Times mengalami penguatan masing-masing sebesar 0,84 persen, 0,53 persen, dan 0,76 persen.
Bursa Hong Kong, Hang Seng Index mengalami penurunan sebesar 0,13 persen. Terpisah, dampak dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kata Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah bisa mempengaruhi perekonomian nasional.
Investasi asing yang masuk ke Indonesia bisa berkurang dan kemudian menekan pertumbuhan ekonomi.
"Pelemahan rupiah bisa meningkatkan risiko investasi sekaligus menurunkan masuknya investasi asing ke Indonesia."
"Pelemahan rupiah juga meningkatkan potensi inflasi di Indonesia. Inflasi Indonesia bisa meningkat lebih besar dan memangkas daya beli masyarakat. Ujungnya menahan konsumsi dan pertumbuhan ekonomi," kata Piter Abdullah.