Rabu Sore Rupiah Masih Terpuruk, Kini di Level Rp 15.015
Melansir Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia, tercatat nilai tukar Rupiah di level Rp 15.015 per dolar AS.
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Rabu sore (6/7/2022) ditutup melemah.
Melansir Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia, tercatat nilai tukar Rupiah di level Rp 15.015 per dolar AS.
Pada hari sebelumnya, Selasa (5/7/2022) nilai tukar rupiah ditutup Rp 14.990.
Baca juga: Pemerintah dan Bank Indonesia Diminta Jaga Inflasi Agar Rupiah Tak Semakin Terpuruk
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, pelemahan mata uang Indonesia masih akan berlanjut.
Faktor pelemahan rupiah yang berlanjut karena pasar keuangan masih dibayangi sentimen negatif.
Investor terus mencermati risiko kenaikan Fed rate terhadap Indonesia sehingga melakukan penjualan aset berisiko tinggi. Keluarnya dana asing juga dipicu data inflasi Juni yang cukup tinggi sejak 2017 menjadi kekhawatiran risiko stagflasi.
Apalagi BI masih menahan suku bunga tentu risk nya naik di market.
Kondisi likuiditas di dalam negeri bisa mengetat apabila pelemahan kurs terus terjadi. Karena pelemahan kurs menunjukkan adanya tekanan arus modal asing yang keluar.
“Cadangan devisa akan semakin tertekan disaat arus modal keluar tinggi sekaligus kinerja ekspor komoditas mulai terkoreksi,” ucap Bhima kepada Tribunnews, Rabu (6/7/2022).
“Salah satu alasan pelemahan rupiah karena BI masih menahan suku bunga. Ditahannya suku bunga acuan membuat spread imbal hasil US Treasury dengan surat utang SBN semakin menyempit. Idealnya suku bunga sudah naik 50 basis poin sejak Fed lakukan kenaikan secara agresif,” sambungnya.
Baca juga: Rupiah Berpotensi Melemah ke Level Rp 16.000, Pengamat: Ada Badai Mengintai Ekonomi Indonesia
Bhima juga mengatakan, pelemahan kurs dikhawatirkan memicu imported inflation atau kenaikan biaya impor terutama komoditas pangan.
Sejauh ini imported inflation belum dirasakan karena produsen masih menahan harga di tingkat konsumen.
“Tapi ketika beban biaya impor sudah naik signifikan akibat selisih kurs maka imbasnya ke konsumen juga,” pungkasnya.