Jadi Pembicara di Forum Y20, Bisnis Cokelat Tissa Aunila Melesat Omsetnya di E-Commerce
Tissa Aunila diundang menjadi pembicara di forum Y20, forum dialog generasi muda sebagai bagian dari penyelenggaraan G20 di Indonesia tahun 2022.
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Keberhasilan Tissa Aunila menjalankan transformasi melalui platform digital sehingga berhasil mengembangkan bisnisnya di masa pandemi membawanya tampil ke panggung internasional.
Tissa Aunila diundang menjadi pembicara di forum Y20, forum dialog generasi muda sebagai bagian dari penyelenggaraan G20 di Indonesia tahun 2022.
Tissa Aunila adalah Co-Founder Pipiltin Cocoa, produsen cokelat yang berbasis di Jakarta dan merupakan seller Tokopedia. Kehadiran Tissa di forum Y20 menjadi bagian dari upaya Y20 melakukan pendalaman pemahaman transformasi digital jelang finalisasi rekomendasi kebijakan yang puncaknya akan dibahas pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, November 2022.
Baca juga: Menlu RI di Y20: Anak Muda Harus Memainkan Peran untuk Perdamaian Dunia
Tissa menuturkan, pada awal pandemi Covid-19 bisnisnya sempat tergerus karena saat itu dia masih fokus sepenuhnya pada penjualan offline. ”Penjualan berkurang 60 persen karena kami tidak terlalu fokus online. Itu lah kenapa akhirnya kami cepat bergeser, bertransformasi secara daring dan membangun tim secara cepat untuk mengejar ketertinggalan kami di era digital,” ujar Tissa dikutip dari kanal resmi Y20.
Dia kemudian mencoba memasarkan cokelatnya di platform e-commerce Tokopedia yang merupakan market place terbesar di Indonesia. ”Kami belajar dan di Tokopedia kami bisa memperluas pasar. Penjualan kami saat ini meningkat lebih banyak 50 persen dibandingkan sebelum pandemi. Tentu saja karena melakukan transformasi digital,” ujarnya.
Tissa menjelaskan, platform digital yang sempat mendisrupsi bukanlah sebuah hambatan karena dia hanya perlu beradaptasicepat. "Saat ini kami bekerjasama dengan Tokopedia untuk memastikan produk dan layanan lokal juga bisa bersaing melawan produk dari negara lain,” ungkapnya.
”Saat ini Indonesia adalah produsen ke-enam cokelat terbesar di dunia, turun dari sebelumnya peringkat ketiga. Salah satunya akibat minimnya kesadaran masyarakat tentang coklat Indonesia," ungkapnya.
Besarnya manfaat platform digital juga disadari pemerintah untuk mendorong perekonomian Indonesia agar lebih inklusif dan berkelanjutan. Salah satu caranya adalah dengan menghitung kontribusi sektor informal terhadap ekonomi negara.
”Saya rasa ini menjadi kesempatan yang baik untuk pekerja informal (kiprahnya) itu diakui. Penggunaan aplikasi dan teknologi digital dalam konteks ini bisa memasukkan pekerja informal menjadi formal,” ungkap Wakil Menteri BUMN I, Pahala Nugraha Mansury, ketika berbicara di Forum Y20.
Baca juga: Gubernur Anies Baswedan: Pemprov DKI Jakarta Dukung Penuh Kegiatan Y20
Pahala mencontohkan, kehadiran Gojek yang menawarkan solusi melalui aplikasi digital sehingga menciptakan nilai tambah ekonomi baru. Riset dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) pada 2021 memperkirakan, kontribusi Gojek yang merupakan bagian dari ekosistem GOTO terhadap ekonomi Indonesia mencapai Rp 249 triliun atau 1,6 persen terhadap PDB.
Para mitra Gojek baik mitra driver maupun merchant masih termasuk kategori pekerja informal. ”Gojek misalnya, itu aplikasi yang memungkinkan banyak sekali UMKM di Indonesia bisa menjadi bagian dari ekonomi formal,” ujar Pahala.
Pahala meyakini cara ini menjadi salah satu jalan bagi banyak negara termasuk Indonesia memecahkan masalah gap yang terjadi selama ini karena kesulitan menghitung kontribusi sektor informal terhadap perekonomian. Padahal ketika berhasil dihitung, manfaatnya sangat besar.
”Ada banyak bukti bahwa dengan memastikan agar kita bisa menghitung pekerja informal menjadi pekerja formal, ada kemungkinan PDB (Pendapatan Domestik Bruto) bisa naik 2 sampai 5 persen dan itu adalah angka yang luar biasa,” tegasnya.
Pahala menegaskan pemerintah ingin memastikan pekerja informal bisa dihitung kontribusinya dan setelah mereka dihitung, terhitung, lalu diakui. Negara bisa menggunakan piranti-piranti dengan melahirkan kebijakan sesuai yang dibutuhkan para pekerja informal.
”Setelah mereka menjadi bagian ekonomi formal maka ini jadi kesempatan kita untuk bisa mendorong mereka lebih maju, misalnya diberikan program pelatihan sehingga mereka bisa menghitung penjualan mereka sendiri,” ujarnya.