Cerita Dyah dan KaLu, Menikmati Proses Jatuh-Bangun Bisnis dari Rumah
Dyah Yesnita Narendra Dewi, memulai bisnis produk kreasi berbahan tenun lurik khas Yogyakarta bernama KaLu
Penulis: Muhammad Fitrah Habibullah
Editor: Firda Fitri Yanda
TRIBUNNEWS.COM - Sebelas tahun lalu, tepatnya tahun 2011, Dyah Yesnita Narendra Dewi, memulai bisnis produk kreasi berbahan tenun lurik khas Yogyakarta. KaLu, singkatan dari “Katun Lurik”, dipilih Dyah karena dianggap simple dan mudah diingat. Perjalanan membangun bisnis yang dilalui Dyah tak mudah.
Berawal dari keinginannya untuk memiliki lebih banyak waktu bersama sang anak, Dyah memilih melepaskan statusnya sebagai karyawan di sebuah perusahaan. Namun, pilihan untuk lebih banyak berada di rumah dan fokus ke keluarga tak membuatnya berdiam diri. Ia mulai mencoba berbisnis.
“Sebelum KaLu, saya sempat bisnis usaha gerobak kopi. Tapi cuma berjalan tiga bulan, sampai akhirnya yang bertahan KaLu ini,” kisah Dyah.
Inspirasi lurik
Dyah menceritakan, ide menciptakan produk berbahan lurik karena ia tinggal di Yogyakarta dan melihat potensi besar membuat berbagai kreasi kain khas Yogya ini. Menurut Dyah, inspirasi itu datang ketika ia melihat cantiknya baju dari bahan lurik di sebuah majalah.
“Ide dari situ. Akhirnya, saya putuskan untuk mencoba mengolah lurik dari Yogya. Pertimbangannya, bahan baku banyak dan tidak terlalu mahal. Saya belajar otodidak, trial, error, tapi enggak patah semangat,” ujar dia.
Perjalanan KaLu juga bukan tanpa tantangan. Jatuh-bangun sudah ia lalui. Dengan modal terbatas, Dyah tetap optimistis bahwa usaha yang dirintisnya akan membuahkan hasil.
“Saya sampai menggadaikan gelang emas seserahan untuk modal usaha ini, karena tabungan saya habis untuk modal usaha sebelumnya yang akhirnya gagal,” kata Dyah.
Dalam hal pemasaran, sebelas tahun lalu, media sosial belum segencar saat ini. Kala itu, kata Dyah, masih jarang orang yang berjualan daring. Ia pun mulai memasarkan produknya melalui media sosial Facebook dan BlackBerry Messenger yang tenar saat itu.
Tantangan lainnya, tak mudah memperkenalkan keindahan kain lurik.
“Dulu mindset-nya, lurik itu kesannya kain ndeso. Selain itu, panas, tidak nyaman dipakai. Nah, pada 2012, 2013, sudah banyak desainer yang mulai melirik lurik. Sehingga, akhirnya jadi lebih mudah memasarkannya karena produk-produk dari lurik mulai populer,” papar Dyah.
Suami turun tangan, jadi “couplepreneur”
Usaha Dyah dan KaLu kini semakin berkembang setelah sang suami ikut turun membantunya dan bersama-sama fokus berbisnis. KaLu kini sudah memiliki 10 karyawan dan menggandeng para pengrajin lokal. Harapannya, hal ini akan memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan ekonomi para pengrajin di Yogyakarta.
Para pengrajin ini terlibat dalam mengolah berbagai produk KaLu, seperti berbagai suvenir, aneka busana etnik, produk-produk home decor, tote bag, dan hampers. Saat pandemi, KaLu tak mengalami keterpurukan meski penjualan menurun.