Bank Dunia Tidak Berencana Menawarkan Pembiayaan Baru Untuk Sri Lanka yang Dilanda Krisis Ekonomi
Bank Dunia juga mengatakan sedang bekerja untuk membangun kontrol dan pengawasan demi memastikan distribusi yang adil.
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Bank Dunia tidak berencana untuk menawarkan pembiayaan baru ke Sri Lanka, yang saat ini sedang berjuang melawan krisis ekonomi terburuknya sepanjang sejarah.
Dilansir dari Reuters, Jumat (29/7/2022) Bank Dunia mengatakan bahwa Sri Lanka perlu mengadopsi reformasi struktural yang berfokus pada stabilisasi ekonomi untuk mengatasi akar penyebab krisisnya, yang telah membuat negara itu kekurangan devisa, makanan, bahan bakar dan obat-obatan.
"Bank Dunia sangat prihatin dengan situasi ekonomi yang mengerikan dan dampaknya terhadap rakyat Sri Lanka," kata Bank Dunia.
Baca juga: Mantan Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa Dijadwalkan Jalani Sidang Atas Petisi Krisis Ekonomi
“Bank Dunia akan menggunakan kembali sumber daya di bawah pinjaman yang ada untuk membantu mengurangi kekurangan barang-barang penting seperti obat-obatan, gas untuk memasak, pupuk, makanan untuk anak-anak dan uang tunai untuk rumah tangga yang rentan," tambahnya.
Bank Dunia juga mengatakan sedang bekerja untuk membangun kontrol dan pengawasan demi memastikan distribusi yang adil.
Sementara itu, Mantan presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa mengatakan pada bulan Juni bahwa Bank Dunia akan merestrukturisasi 17 proyek yang ada dan akan memberikan lebih banyak bantuan untuk Sri Lanka setelah menyelesaikan negosiasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF) mengenai pinjaman pembiayaan.
Krisis Ekonomi Sri Lanka
Sri Lanka, negara yang berpenduduk sekitar 22 juta jiwa telah mengalami krisis ekonomi terburuk dalam beberapa bulan terakhir.
Mengutip dari Aljazeera, Sri Lanka dihadapkan pada kekurangan bahan bakar, makanan dan obat-obatan. Krisis itu semakin diperparah oleh pinjaman dalam jumlah besar yang tidak mampu dibayarkan oleh negara itu.
Akibat krisis itu, Sri Lanka memilih untuk menangguhkan pembayaran pinjaman luar negerinya senilai 51 miliar dolar AS, di mana 28 miliar dolar AS harus dibayar pada tahun 2027.