Komitmen Ciptakan Bisnis Berkelanjutan, Nestle Target Capai Nol Emisi Karbon di 2050
PT Nestle Indonesia berkomitmen untuk menciptakan bisnis keberlanjutan untuk masa depan yang lebih ramah lingkungan.
Penulis: Lita Febriani
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews, Lita Febriani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT Nestle Indonesia berkomitmen untuk menciptakan bisnis keberlanjutan untuk masa depan yang lebih ramah lingkungan.
Oleh karenanya, perusahaan menargetkan mencapai nol emisi karbon pada 2050 dan memastikan 100 persen kemasan dapat didaur ulang.
PT Nestle Indonesia mempunyai empat fokus upaya keberlanjutan yaitu perubahan iklim, keberlanjutan kemasan, kepedulian air dan keberlajutan pengadaan bahan baku.
Presiden Direktur PT Nestle Indonesia Ganesan Ampalavanar, mengatakan komitmen mencapai emisi nol di 2050, dibagi menjadi komitmen jangka pendek di 2025 dan jangka menengah di 2030.
Untuk jangka pendek pada 2025, PT Nestle Indonesia menargetkan pengurangan emisi sebesar 20 persen, lalu mencapai 50 persen pada 2030.
Baca juga: Nestle Belanjakan Rp 1,6 Triliun untuk Serap Susu Segar dari Peternak Lokal
"Kami memastikan upaya pengurangan emisi dilakukan sepanjang mata rantai usaha (entire value chain), sehingga menjadikan komitmen kami ini lebih menantang. Dari pengadaan bahan baku, manufaktur, hingga pasca konsumsi," tutur Ganesan dalam webinar Katadata Safe 2022, Selasa (23/8/2022).
Beberapa target yang akan dicapai di jangka pendek pada 2025, antara lain kemasan 100 persen dapat didaur ulang, menggunakan sekam padi sebagai biomassa boiler seperti yang sudah dimulai di Pabrik Karawang dan 20 persen bahan baku dari pertanian regeneratif.
Memastikan kemasan plastik dapat didaur ulang juga merupakan upaya untuk mendukung pencapaian emisi nol.
"Kami memiliki 3 strategi dalam mendukung kemasan plastik sirkular yaitu less packaging, better packaging dan better system. Saat ini, 88 persen kemasan kami sudah bisa didaur ulang," ungkap Ganesan.
Bentuk komitmen lain dalam membantu memperbaiki kemasan adalah menggunakan sedotan kertas, di mana Nestle merupakan perusahaan pertama yang menggunakan sedotan kertas pada kemasan siap konsumsinya.
“l"Ini merupakan satu contoh, dimana cost-nya ditanggung oleh Nestle dan kami berharap konsumen-konsumen produk kami menilai apa yang dilakukan oleh Nestle dalam perjuangan melindungi keberlanjutan ini," imbuhnya.
Meskipun penggantian dari sedotan kertas jauh lebih mahal dibandingkan dengan sedotan plastik, tapi karena PT Nestle Indonesia berkomitmen dalam mencapai nol emisi, maka perubahan tersebut tetap dilakukan.
Langkah lainnya adalah dukungan terhadap manajemen persampahan melalui 15 fasilitas TPST/TPS3R di Jawa Barat, Jawa Timur dan Jakarta, serta bermitra dengan 26 pelapak dan pendaur ulang di Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah.
"Salah satu target kami adalah melalui plastic neutrality mengumpulkan sampah plastik, termasuk bukan kemasan milik Nestle, sebesar dengan jumlah plastik yang kami gunakan tahun ini," jelas Ganesan.
Ganesan menambahkan, emisi terbesar berasal dari bahan baku yang digunakan PT Nestle Indonesia dari pertanian.
Karena itu, PT Nestle bergotong royong dalam skala besar bersama seluruh mitra petani untuk melakukan pertanian regeneratif, yaitu bukan hanya melindungi, tetapi juga membantu memperbaharui dan memperbaiki lingkungan kita beroperasi. Di saat bersamaan juga meningkatkan kehidupan (living income) petani.
"Sebagai contoh salah satu solusi yang kami lakukan bersama 26.000 peternak sapi perah di Jawa Timur. Limbah ternak kami olah dalam biogas digester untuk menjaga lingkungan dan bagi petani bisa digunakan sebagai sumber energi untuk memasak.
Lebih dari 8.000 biogas digester yang sudah dibangun dan digunakan petani. Bersama petani kopi di Tanggamus, Lampung. Menanam 1 juta pohon untuk menyerap lebih banyak lagi emisi," ucap Ganesan.
Selain berkolaborasi dengan para petani, PT Nestle Indonesia juga mendukung terjadinya kolaborasi semisal dengan PLN.
PT Nestle Indonesia akan melakukan investasi untuk penggunaan solar panel di seluruh pabrik untuk mendukung PLN menciptakan green energy.
Executive Vice President (EVP) Perencanaan Sistem Ketenagaklistrikan PLN Edwin Nugraha Putra, berharap sektor industri ikut terlibat untuk membantu ataupun menyerap energi hijau yang telah disiapkan PLN.
"PLN tetap berkomitmen membangun pembangkit listrik energi baru terbarukan. Sekalipun saat ini PLN sedang mengalami over suplai listrik," ujar Edwin.
PLN mencatat, dalam beberapa tahun mendatang suplai listrik akan terus bertambah, melalui mega proyek 35.000 Mega Watt (MW) yang masih terus berjalan.
Hal ini akan menambah over suplai listrik di sejumlah wilayah seperti Pulau Jawa, Bali dan Sumatera.
"Misalnya dengan Pupuk Indonesia, kita sudah memetakan tempat-tempat yang memungkinkan kita alirkan energi hijau. Ini sedang kita letakan dan sekarang sedang berproses untuk melihat lebih jauh bagaimana kemungkinan untuk suplai tersebut masuk ke tempat-tempat industri," kata Edwin.
Memastikan ketersediaan pasokan energi hijau juga sejalan dengan target PLN pada tahun 2025 yang diminta oleh pemerintah untuk mencapai 23 persen energi baru terbarukan.
Pembangunan energi hijau tentu saja harus dikaitkan dengan kerja sama industri untuk memenuhi listriknya dari PLN.
"Perlunya offtaker, seperti pabrik pupuk, dan industri lainnya. Hal ini akan sangat membantu PLN di tengah kondisi over suplai pasokan listrik," ujarnya.
Di sisi lain, PLN berkomitmen mengatur untuk tidak memasukan energi fosil lagi ketika pertambahan beban terjadi. Dia memastikan bahwa PLN hanya menyelesaikam pembangunan 35.000 MW yang dimulai sejak tahun 2015.