Pelaku Pasar Keuangan Mulai Khawatir Soal Kebijakan The Fed Mengendalikan Inflasi
Gubernur The Fed Jerome Powell dalam pidatonya memperingatkan ekonomi AS akan menghadapi beberapa rasa sakit.
Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Bank Sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve (The Fed) pada pekan lalu telah memberikan sinyal hawkish atau kenaikan suku bunga untuk mengendalikan inflasi melalui kebijakan moneter.
Namun, para analis khawatir pengetatan kebijakan moneter yang terus-menerus dilakukan The Fed dapat menimbulkan ancaman bagi pasar keuangan.
Gubernur The Fed Jerome Powell dalam pidatonya memperingatkan ekonomi AS akan menghadapi "beberapa rasa sakit", karena The Fed terus menaikkan suku bunga secara agresif.
Baca juga: Senator AS Khawatir Kenaikan Suku Bunga The Fed Picu Peningkatan Pengangguran
Pasar keuangan global terguncang menyusul pidato Powell yang mengindikasikan The Fed akan kembali memperketat kebijakan moneternya, yang kemungkinan dapat menambah risiko resesi.
Dalam sebuah catatan penelitian yang diterbitkan pada Selasa (30/8/2022) kemarin, analis di perusahaan pengelola investasi CrossBorder Capital berpendapat bahwa The Fed sedang mengabaikan "dimensi likuiditas kuantitatif", dengan melakukan pengetatan kuantitatif sehingga memiliki dampak asimetris pada perekonomian.
“The Fed melihat QT/QE beroperasi seperti ‘unit pendingin udara’ yang berputar di latar belakang, tetapi kami melihat QT sebagai bola perusak yang pada akhirnya akan berbalik menjadi QE lain,” kata CEO CrossBorder Capital, Michael Howell.
Pengetatan kuantitatif atau Quantitative Tightening (QT) merupakan strategi kebijakan moneter yang digunakan bank sentral untuk memperketat jumlah uang yang beredar di masyarakat dengan melakukan normalisasi neraca bank sentral.
Kebijakan ini biasanya dilakukan dengan menjual obligasi dan surat-surat berharga, membiarkan obligasi lama hingga jatuh tempo dan menaikkan suku bunga.
Howell memperingatkan, adanya risiko yang tumbuh dari tindakan The Fed, khususnya dampak kebijakan QT yang berlebihan terhadap stabilitas keuangan.
“Kekhawatiran kami adalah bahwa QE/QT memiliki efek besar pada stabilitas keuangan, dengan perkiraan kontraksi neraca Fed hampir sepertiga yang setara dengan sekitar 5 persen poin ditambahkan ke Dana Fed,” kata Howell.
CEO CrossBorder Capital ini percaya The Fed dengan cepat telah menyedot terlalu banyak likuiditas dari pasar keuangan. Howell menunjuk pada sikap hawkish yang dilakukan Bank Sentral Eropa (ECB), yang menurutnya memicu ketidakstabilan nilai euro.
Baca juga: Inflasi AS di Juli Menyusut Jadi 8,5 Persen, Imbas Bensin Diperdagangkan Lebih Rendah
“Pada tahap tertentu di tahun 2023, The Fed akan dipaksa untuk berputar ke arah neraca yang naik lagi dan dolar AS turun. Sampai titik ini tercapai, beberapa bulan ke depan akan terlihat QT yang lebih besar. Ini seharusnya menakuti pasar,” ujarnya.
Kekhawatiran mengenai QT juga digaungkan Kepala Ekonom di perusahaan audit, pajak dan konsultasi global Mazars, George Lagarias, yang mendesak para pedagang dan investor untuk melupakan apa yang mereka dengar dari pidato Powell pada pekan lalu.
The Fed meningkatkan batas pengetatan kuantitatif dari 45 miliar dolar AS menjadi 95 miliar dolar AS. Sementara itu ECB telah mengakhiri pelonggaran kuantitatifnya atau Quantitative Easing (QE), meskipun dengan program yang membatasi fragmentasi antara suku bunga pinjaman di negara-negara Eropa yang berhutang banyak.
Lagarias mengatakan investor harus memperhitungkan dampak jangka panjang dari sikap agresif The Fed. Dia memperingatkan perlambatan ekonomi dapat berubah menjadi resesi.
“Akankah (peningkatan The Fed) menyedot uang dari pasar dengan cepat? Niat sebenarnya akan ditunjukkan di bidang itu, bukan dalam pidato kebijakan. Sementara itu, investor harus khawatir tentang implikasi jangka panjang dari sikap The Fed. Perlambatan bisa menjadi resesi yang dalam. Inflasi bisa berubah menjadi deflasi,” kata Lagarias.
Lagarias juga mencatat, pasar negara berkembang dan eksportir AS telah menderita akibat naiknya nilai dolar AS, terutama dalam keadaan saat ini di mana bank sentral mengarahkan kebijakannya ke arah penekanan upah yang menimbulkan krisis biaya hidup.