Pengamat Ekonomi Nilai Reformasi Kebijakan Subsidi Energi Harus Dilakukan Guna Lindungi APBN
Pengamat ekonomi menilai tahun ini merupakan momentum yang paling tepat dalam melakukan reformasi kebijakan subsidi energi.
Penulis: Malvyandie Haryadi
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat ekonomi INDEF Abra Talattov menilai tahun ini merupakan momentum yang paling tepat dalam melakukan reformasi kebijakan subsidi energi.
Pertimbangannya adalah masih adanya ruang diskresi dalam APBN 2022 terkait defisit dan soal ongkos politik yang akan makin besar jika ditunda.
“Momentum reformasi kebijakan subsidi energi harus segera dipercepat di semester dua ini. Sebab, ini akan membuat perubahan drastis kebijakan subsidi energi,” kata Abra Talattov.
Menurut Abra, kebijakan tersebut akan menimbulkan beberapa implikasi, seperti inflasi meski sifatnya temporer, serta resistensi dan pro kontra dari masyarakat terhadap kebijakan baru.
Baca juga: Jokowi Tegaskan Tak Ada Penghapusan Golongan Pelanggan Listrik 450 VA, Subsidi Juga tetap Diberikan
“Momen reformasi di tengah tahun kedua ini juga akan memungkinkan dilakukannya evaluasi. Jadi, ketika dampak negatifnya cukup luas dan besar, pemerintah bisa melakukan penyesuaian atau penyempurnaan kebijakan,” ujar Abra.
Ruang diskresi terkait defisit pada APBN 2022 dan kondisi APBN semester I/2022 yang surplus juga menjadi semakin menguatkan bahwa momentum reformasi kebijakan subsidi yang tepat adalah tahun ini.
Dengan demikian, jika terjadi risiko akibat reformasi tersebut masih dapat diredam dengan fleksibilitas APBN.
“Saya pikir momentum tepat adalah di tahun ini dibanding tahun depan saat defisit APBN tidak bisa lagi di atas 3 persen dari PDB. Jika ternyata ada ekses negatif dari kebijakan transformasi subsidi energi, pemerintah masih bisa meredamnya,” kata Abra.
Lebih lanjut, Abra memberikan contoh, misal pemberian subsidi energi oleh pemerintah ditargetkan kepada 40 persen masyarakat terbawah.
Namun, pada kenyataannya, masyarakat yang berada di 50 hingga 70 persen juga membutuhkan subsidi tersebut.
“Mungkin pemerintah masih bisa memperluas pemberian subsidi energi, bukan hanya 40 persen terbawah, tapi sampai 70 persen. Tetapi ini akan dievaluasi seperti apa besaran subsidi yang diberikan, seberapa besar efisiensi yang diciptakan dari perubahan kebijakan subsidi energi secara tertutup,” ujar Abra.
Baca juga: PBNU: Pengalihan Subsidi BBM kepada Masyarakat Miskin Sesuai Perintah Syariah
Perspektif senada disampaikan Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky. Ia menilai bahwa saat ini adalah momentum untuk melakukan reformasi fiskal, terutama subsidi BBM.
Menurutnya, selain saat ini Indonesia telah melewati pandemi, situasi saat ini juga belum terlalu jauh memasuki tahun politik. Dengan demikian, ongkos politiknya masih tidak sebesar jika ditunda ke tahun berikutnya.
“Menurut saya lebih cepat lebih baik karena semakin ditunda, political cost makin besar. Makin dekat pemilu makin mahal ongkos politiknya. Dalam arti lebih banyak yang perlu dinegosiasi dan perlu banyak mendapatkan dukungan politik dari sisi manapun,” kata Riefky.