Mata Uang Yuan Anjlok Hingga Jatuh ke Titik Terlemah Sejak 2008
Sikap agresif ini diambil The Fed untuk mengerek turun laju inflasi di AS yang saat ini tengah bertengger di kisaran 8,5 persen.
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, BEIJING – Mata uang China yuan mengalami penurunan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (28/9/2022), hingga menyentuh level terlemah sejak awal 2008.
Tercatat yuan terkoreksi 0,83 persen terhadap dolar AS, hingga nilainya amblas di level 7,23.
Hal ini memperpanjang penurunan di sepanjang 2022, di mana Yuan sudah terkoreksi dalam terhadap dolar AS sebanyak 10,9 persen.
Penurunan ini terjadi imbas dari adanya pengetatan moneter yang dilakukan bank sentral The Fed, dengan mengerek naik suku bunga acuan sebanyak 75 basis poin pada awal pekan lalu.
Baca juga: Nilai Yuan Catatkan Penurunan, Jadi yang Terlemah Dalam 14 Tahun Terakhir
Sikap agresif ini diambil The Fed untuk mengerek turun laju inflasi di AS yang saat ini tengah bertengger di kisaran 8,5 persen, meski pengetatan moneter hanya sedikit mengerek turun inflasi namun kebijakan ini sukses mengangkat keperkasaan dolar AS di pasar spot sebanyak 0,44 persen menjadi 114,613.
Hingga membuat kinerja greenback melesat pesat terhadap enam mata uang dunia lainnya ,dengan naik menyentuh rekor tertingginya sejak dua dekade.
Alasan inilah yang membuat mata uang negara – negara berkembang seperti China tersungkur karena gagal melawan penguatan greenback.
Kondisi ini diprediksi akan terus terjadi mengingat saat ini para pejabat The Fed telah kembali mengisyaratkan kenaikan suku bunga hingga tingkat dana mencapai titik akhir sebesar 4,6 persen pada 2023.
Pengetatan ini juga menyiratkan adanya penguatan lanjutan pada dolar dan depresiasi atau penurunan pada mata uang lainnya, termasuk Yuan.
Khawatir kebijakan tersebut makin memperparah kondisi Yuan, pada Senin (26/9/2022), bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) diketahui telah memberlakukan kenaikan risk reverse requirement ratio dari nol persen menjadi 20 persen.
Kenaikan ini diberlakukan untuk institusi finansial yang akan membeli valuta asing melalui kontrak forward, dengan tujuan untuk menstabilkan nilai tukar mata uang yuan di tengah penguatan greenback.
Meski langkah ini tidak sepenuhnya dapat menghentikan depresiasi yuan, namun mengutip dari Bloomberg cara yang diambil PBoC setidaknya dapat membantu pemerintah China mencegah kejatuhan Yuan lebih lanjut secara bertahap.
Baca juga: Sentimen Negatif The Fed Buat Indeks S&P 500 Anjlok ke Level Terendah Dalam 2 Tahun Terakhir
"China telah bergerak untuk memungkinkan nilai tukar menjadi peredam kejut, dan karena itu gaya yang lebih berorientasi pasar," kata Xu Wang, kepala Strategi Valuta Asing dan Harga China Raya di BNP Paribas SA.
Tak hanya Yuan yang mengalami keruntuhan nilai, belakangan ini sejumlah mata uang lainnya seperti Won Korea Selatan juga ikut melemah sebanyak 1,27 persen.
Sementara bath Thailand tersungkur hingga jatuh 1,05 persen terhadap dolar AS. Diikuti oleh Rupee India dan Peso Filipina yang masing – masing melemah di kisaran 0,44 persen dan 0,03 persen.