Para Bankir Wall Street Peringatkan Dunia untuk Bersiap Hadapi Resesi
Bos Goldman Sachs David Solomon memperingatkan dunia untuk bersiap menghadapi guncangan lantaran kondisi ekonomi global saat ini tengah tertekan.
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Para bankir kondang dari bursa pasar Wall Street mulai dari Bos Goldman hingga kepala eksekutif JP Morgan menyebut pasar global saat ini tengah tertekan resesi.
Hal tersebut akibat ketegangan geopolitik dan kenaikan suku bunga yang tajam.
Dalam konferensi Future Investment Initiative yang digelar pada Selasa (25/10/2022) di Riyadh Arab Saudi, Bos Goldman Sachs David Solomon memperingatkan dunia untuk bersiap menghadapi guncangan lantaran kondisi ekonomi global saat ini tengah tertekan.
Baca juga: Dihantui Lonjakan Inflasi, IMF Sebut Eropa Berpotensi Mengalami Resesi Lebih Dalam
Ini terjadi karena dampak dari sikap agresif Federal Reserve AS yang secara aktif menaikkan suku bunga, tercatat selama 2022 setidaknya bank sentral AS ini telah mengerek naik suku bunga sebanyak 5 kali dengan total mencapai 300 basis poin (bps).
Bahkan dalam pertemuannya di November nanti The Fed diprediksi kembali memperketat kebijakan moneternya dengan mengerek suku bunga 4,5 persen hingga 4,75 persen.
"Jika mereka tidak melihat perubahan nyata, tenaga kerja masih sangat ketat, mereka jelas hanya bermain dengan sisi permintaan dan pengetatan. Tebakan saya mereka akan lanjut menaikkan suku bunga," ujarnya Solomon, seperti dilansir dari Reuters.
Pengetatan kebijakan moneter awalnya dimaksudkan The Fed untuk menghentikan laju inflasi AS yang saat ini telah melesat di level 8,1 persen pada September lalu. Akibat kenaikan harga energi dan pangan yang terdampak invasi Rusia ke Ukraina.
Namun sayangnya pengetatan ini justru memicu kaburnya mata uang dolar hingga membuat investasi di Negeri Paman Sam terlihat lebih menggiurkan dibandingkan investasi di negara lain.
Alasan tersebut yang kemudian membuat kurs mata uang lokal yang mengalami depresiasi sehingga ekonomi negara itu masuk kedalam jurang resesi.
Lantaran pengetatan moneter berdampak besar pada keberlangsungan sektor bisnis hingga rumah tangga.
Baca juga: Menko Luhut: Hadapi Ancaman Resesi Harus Kompak
Kondisi ini diprediksi akan semakin parah, mengingat saat ini hubungan antara AS dan China tengah mengalami perpecahan. Hal tersebut tentunya akan mempengaruhi perdagangan kedua belah pihak.
Kepala Eksekutif JPMorgan Chase & Co Jamie Dimon, berbicara di konferensi Future Investment, mengatakan situasi geopolitik lebih mengkhawatirkan daripada kemungkinan resesi di Amerika Serikat, karena perpecahan ini dapat menangguhkan sejumlah kegiatan ekspor impor.
Apabila permasalahan ini terus terjadi dalam kurun waktu yang lama maka sejumlah negara yang mengandalkan pasokannya dari China maupun AS akan terdampak kelangkaan pasokan dan berujung pada memuncaknya inflasi.