Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Ekonom Bhima Yudhistira Sebut Aturan Pasar Karbon di RUU PPSK Butuh Perbaikan

Menurutnya, terdapat dua kebijakan yang dimuat dalam RUU PPSK melalui pasal 26 dan pasal 5A ayat 8, dinilai perlu dilakukan perbaikan.

Penulis: Nitis Hawaroh
Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Ekonom Bhima Yudhistira Sebut Aturan Pasar Karbon di RUU PPSK Butuh Perbaikan
IST
Ekonom Celios, Bhima Yudhistira Adhinegara 

Laporan Wartawan Tribunnews.om, Nitis Hawaroh

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyoroti pembahasan pasar karbon yang dimuat dalam Rancangan Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK).

Menurutnya, terdapat dua kebijakan yang dimuat dalam RUU PPSK melalui pasal 26 dan pasal 5A ayat 8, dinilai perlu dilakukan perbaikan.

Kata Bhima, pasal 26 menyebut bahwa ketentuan lebih lanjut terkait pasar karbon akan diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal itu justru perlu direvisi sesuai entitas lembaga terkait.

Bhima mengatakan, sebaiknya Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) turut dilibatkan sebagai regulator utama pasar karbon.

Baca juga: Proyek Dekarbonisasi 165 Perusahaan Jepang di RI Berpotensi Kurangi 30 Juta Ton Emisi Karbon

"Karbon secara umum didefinisikan sebagai komoditi ketimbang efek. Sementara ruang pengaturan OJK, lebih pas terkait produk pembiayaan dari hasil perdagangan karbon, sesuai fungsi jasa keuangan," ujar Bhima Yudhistira di Jakarta Pusat, Selasa (22/11/2022).

Selain itu, Bhima menyampaikan, pelibatan Bappebti berpeluang bakal membantu skema pembiayaan lembaga keuangan melalui kolaborasi yang dibangun antara OJK dan Bappebti.

BERITA REKOMENDASI

"Dimana Bappebti yang mengatur perdagangan komoditi karbon, sementara OJK yang akan memfasilitasi perusahaan yang terlibat dalam perdagangan karbon dengan pembiayaan lembaga keuangan," jelasnya.

Disisi lain, Bhima menyoroti pasal 5 A ayat 8 yang mengatur tentang perdagangan sekunder karbon dalam wewenang OJK.

Menurutnya, pasal 5 A ayat 8 direvisi, dengan jalan tengah kolaborasi antara regulator yakni OJK dan Bappebti. Hal itu untuk mengatur perdagangan sekunder Sertifikat Izin Emisi dan Sertifikat Penurunan Emisi di bursa karbon.

"Sebagian besar pemain bursa komoditi yang existing sudah memiliki infrastruktur memadai untuk menjalankan bursa karbon, sehingga dirasa tidak perlu mempersiapkan infrastruktur baru dibawah wewenang OJK," ujarnya.

Lebih jauh, Bhima menambahkan, pemerintah Indonesia bertekad untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29 persen (dengan usaha sendiri) dan sebesar 41 persen (dengan bantuan internasional) pada tahun 2030.


Sementara kebutuhan biaya untuk mitigasi perubahan iklim secara akumulatif selama 2020-2030 mencapai Rp 3.779 triliun atau Rp 343,6 triliun per tahun. Kata Bhima, angka tersebut tidak mungkin seluruhnya ditutup dengan APBN.

"Kehadiran pasar karbon diharapkan menjadi solusi untuk menutup kebutuhan pendanaan yang besar dari sisi pelaku usaha," ucap Bhima.

"Kami khawatir masa tunggu yang lama akan menyebabkan bursa karbon luar negeri lebih menarik, padahal Indonesia memiliki potensi karbon yang luar biasa," sambungnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas