Jokowi Ngotot Hilirisasi Bijih Nikel Dilanjutkan, 'Nilai Tambahnya 15 Kali Lipat'
Presiden Joko Widodo tetap ngotot untuk meneruskan tekad tersebut dan terus melanjutkan pembangunan smelter-smelter di sejumlah daerah.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Meski kalah dalam sidang gugatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Pemerintah RI tak gentar untuk tetap melakukan program hilirisasi bahan tambang, termasuk nikel.
Proyek ini dilakukan agar Indonesia bisa mendapatkan nilai tambah yang harganya jauh lebih tinggi dibandingkan mengekspor bahan mentah.
Presiden Joko Widodo tetap ngotot untuk meneruskan tekad tersebut dan terus melanjutkan pembangunan smelter-smelter di sejumlah daerah.
Baca juga: Tiru OPEC, Indonesia Usulkan Pendirian Organisasi Negara-Negara Penghasil Nikel
Presiden meminta agar penghentian ekspor dalam bentuk bahan mentah tidak hanya berhenti pada komoditas nikel saja.
“Enggak bisa lagi kita mengekspor dalam bentuk bahan mentah, mengekspor dalam bentuk raw material, enggak.
Begitu kita dapatkan investasinya, ada yang bangun, bekerja sama dengan luar dengan dalam atau pusat dengan daerah, Jakarta dengan daerah, nilai tambah itu akan kita peroleh,” ujar Presiden dalam sambutannya saat membuka Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Investasi Tahun 2022 di The Ritz-Carlton, Jakarta, pada Rabu (30/11/2022).
Jokowi mencontohkan, beberapa tahun lalu Indonesia masih mengekspor nikel dalam bentuk bahan mentah yang nilainya hanya mencapai 1,1 miliar dolar AS.
Setelah pemerintah memiliki smelter dan menghentikan ekspor dalam bentuk bahan mentah, pada tahun 2021 ekspor nikel melompat 18 kali lipat menjadi 20,8 miliar dolar AS atau Rp300 triliun lebih.
Indonesia digugat oleh Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Meskipun Indonesia kalah dalam kasus tersebut, Presiden Jokowi mengingatkan jajarannya agar melakukan banding dan terus melakukan hilirisasi untuk bahan-bahan tambang lainnya seperti bauksit.
“Enggak apa-apa kalah, saya sampaikan ke menteri, banding. Nanti babak yang kedua hilirisasi lagi bauksit.
Baca juga: Erick Thohir Usul Bentuk OPEC’ Khusus Nikel, Optimalisasi Potensi Industri Baterai Mobil Listrik
Artinya bahan mentah bauksit harus diolah di dalam negeri agar kita mendapatkan nilai tambah.
Setelah itu bahan-bahan yang lainnya, termasuk hal-hal yang kecil-kecil, urusan kopi, usahakan jangan sampai diekspor dalam bentuk bahan mentah.
Sudah beratus tahun kita mengekspor itu. Stop, cari investor, investasi agar masuk ke sana sehingga nilai tambahnya ada,” tegasnya.
Ditegaskan, nilai tambah nikel meningkat hingga 15 kali lipat.
“Seperti kasus nikel ini, dari Rp20 triliun melompat ke lebih dari Rp300 triliun sehingga neraca perdagangan kita sudah 29 bulan selalu surplus yang sebelumnya selalu negatif, selalu defisit neraca berpuluh-puluh tahun. Baru 29 bulan yang lalu kita selalu surplus. Ini yang kita arah,” lanjutnya.
Baca juga: Pengamat Energi Nilai Nikel Punya Prospek Bagus dalam Jangka Panjang
Presiden pun menegaskan bahwa gugatan tersebut merupakan hak negara lain yang merasa terganggu dengan kebijakan pemerintah Indonesia.
Bagi Uni Eropa misalnya, jika nikel diolah di Indonesia, maka industri di sana akan banyak yang tutup dan pengangguran akan meningkat.
Namun, Kepala Negara menegaskan bahwa Indonesia juga memiliki hak untuk menjadi negara maju.
“Negara kita ingin menjadi negara maju, kita ingin membuka lapangan kerja. Kalau kita digugat saja takut, mundur, enggak jadi, ya enggak akan kita menjadi negara maju. Saya sampaikan kepada menteri ‘Terus, tidak boleh berhenti’. Tidak hanya berhenti di nikel tetapi terus yang lain,” pungkasnya. (Handoyo)