Akademisi: Kondisi Makro Ekonomi Indonesia Masih Lebih Baik Dibandingkan Negara Lain
Indonesia saat ini membutuhkan investasi dalam jumlah besar sebagai modal untuk menjaga pertumbuhan yang sustainable
Editor: Sanusi
"Pertumbuhan ini utamanya didukung oleh peningkatan kredit produktif, yakni kredit modal kerja dan kredit investasi. Pertumbuhan kredit konsumsi juga meningkat sejalan dengan semakin meningkatnya konsumsi masyarakat," katanya.
Baca juga: Minat Terhadap Layanan Keuangan Syariah Meningkat, DPK Tumbuh 18 Persen Jadi Rp591,97 triliun
Sementara itu, Dana Pihak Ketiga (DPK) masih tumbuh positif meskipun mengalami perlambatan laju pertumbuhan. Sampai dengan Oktober 2022, DPK tumbuh 9,41 persen (yoy). Intermediasi perbankan yang semakin baik sejalan dengan pulihnya aktivitas ekonomi.
"Dari sisi penawaran, peningkatan kredit didukung oleh standar penyaluran kredit yang tetap longgar, seiring dengan membaiknya appetite perbankan. Dari sisi permintaan, perbaikan intermediasi perbankan ditopang oleh pemulihan kinerja korporasi dan rumah tangga serta berlanjutnya aktivitas masyarakat," terangnya.
Fahreza memproyeksi gejolak dan ketidakpastian ekonomi global masih menjadi risiko yang perlu diperhatikan di sektor keuangan, terutama karena inflasi global yang masih persisten tinggi dan meningkatnya kekhawatiran terhadap resesi global. Selain itu, kebijakan moneter The Fed dan sejumlah bank sentral utama lainnya diperkirakan masih akan cukup ketat untuk mengembalikan inflasi ke level sasaran.
"Karena itu, tekanan terhadap sektor keuangan pada tahun 2023 mendatang dirasa masih cukup kuat. Meskipun sektor keuangan domestik masih cukup resilien dalam menghadapi risiko yang mungkin akan datang," paparnya.
3. Pajak
Dosen akuntansi Politeknik Negeri Malang (Polinema), Annisa Fitriana yang menyoroti sektor perpajakan di Indonesia mengatakan, penerimaan pajak Indonesia di tahun 2022 mencapai 110 persen dari target atau naik sebesar 41,93 persen dibanding tahun lalu dan menunjukkan tren positif. Catatan positif tersebut menunjukkan adanya optimisme pada pemulihan ekonomi setelah pandemi.
Baca juga: Jokowi Cabut PPKM, Bagaimana dengan Bansos hingga Insentif Pajak?
"Pertumbuhan penerimaan pajak tersebut terjadi sejalan dengan tren kenaikan harga komoditas secara global, dan beberapa kebijakan seperti UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang didalamnya terdapat Program Pengungkapan Sukarela (PPS)," katanya.
Di tahun 2023, pemerintah menargetkan penerimaan pajak mencapai Rp 2.021,2 triliun yang ditopang ditopang oleh penerimaan pajak sebesar Rp 1.718,0 triliun dan kepabeanan dan cukai Rp 303,2 triliun. Sehingga, agenda perpajakan ke depan diperkirakan akan tetap fokus pada percepatan tax reform bidang SDM, organisasi, proses bisnis dan regulasi. Di bidang regulasi misalnya dengan pengesahan UU HPP dan UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Annisa memproyeksi, dari sisi proses bisnis, ke depan bisnis digital akan semakin massif sehingga pelayanan administrasi perpajakan harus dapat mengimbangi melalui core tax system. Sehingga, kata kunci untuk suksesi tax reform tersebut adalah upgrade ekosistem digital dengan TI dan SDM serta didukung dengan upaya organisasi yang adaptif dan kolaboratif.
"Di sinilah peran perguruan tinggi menjadi penting dalam melakukan sosialisasi peraturan dan sistem pajak yang terbaru," ujarnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.