HKTI: Kelola Kebijakan Pangan, Utamakan Kesejahteraan Petani
Kebijakan pangan RI masih diramaikan oleh isu impor beras yang dipicu oleh pembelian 200 ribu ton beras oleh Bulog dari luarn negeri.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) membuat sejumlah catatan dalam bidang pangan dan pertanian di penghujung tahun 2022.
Ketua Umum HKTI Fadli Zon mengatakan diskusi kebijakan pangan RI masih saja diramaikan oleh isu impor beras yang dipicu oleh pembelian 200 ribu ton beras oleh Bulog dari luarn negeri.
Menurutnya, dalam konteks ekonomi-politik yang luas, kegiatan ekspor dan impor pangan seharusnya merupakan kegiatan perdagangan biasa.
Namun, impor beras terus-menerus menjadi isu panas di negeri kita karena memang memiliki sejumlah persoalan.
“Impor beras biasanya dilakukan menjelang atau berdekatan dengan musim panen sehingga merugikan petani produsen. Seperti impor kali ini, misalnya, yang dilakukan menjelang musim panen raya,” ucap Fadli, Sabtu (31/12/2022).
Dia mengatakan, Bulog terkesan lebih suka menyerap beras dari pasar dunia ketimbang menyerap beras hasil produksi petani untuk menutupi kebutuhan stok CBP (Cadangan Beras Pemerintah).
“Ini yang membuat keberpihakan Bulog terhadap petani lokal jadi terus-menerus dipertanyakan,” imbuhnya.
Kemudian keputusan untuk melakukan impor beras biasanya hanya berpatokan kepada stok CBP (Cadangan Beras Pemerintah) yang rendah, namun tidak pernah memperhatikan faktor-faktor lainnya, seperti mengapa stok tersebut bisa rendah?.
Baca juga: Soal Impor Beras 500 Ribu Ton, Mendag Zulkifli Hasan: Belum Panen dan Stok di Pasar Tidak Ada
“Kebijakan pangan kita mestinya bertumpu di atas prinsip kesejahteraan petani, dan bukannya konsumen. Sebab, jika petani sejahtera, maka konsumen pastinya sejahtera, dan negara juga akan ikut sejahtera,” ucap Fadli.
“Prinsip menempatkan kesejahteraan petani sebagai titik tumpu kebijakan ini belum kita lihat,” sambungnya.
Sebelum Permendag 24 tahun 2020, pemerintah juga sebelumnya tidak pernah merevisi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) selama lima tahun penuh.
Baca juga: Pemerintah Bantah Impor Beras Dilakukan Tanpa Perencanaan
Padahal, besaran HPP ditetapkan melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Kebijakan HPP itu baru direvisi tahun 2020.
Menurut HKTI, HPP adalah instrumen penting yang bisa mendongkrak kesejahteraan petani, sebab HPP menjadi acuan pihak swasta dalam membeli gabah dan beras petani.
HPP yang tak pernah direvisi, apalagi selama bertahun-tahun, menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah dalam mendukung kesejahteraan petani.
”Pemerintah perlu segera merevisi angka ideal CBP (Cadangan Beras Pemerintah). Memang idealnya stok yang dimiliki Bulog adalah sekitar 6 bulan penyaluran. Jika kita mengacu data penyaluran Bulog pada 2020-2021, angka rata-rata penyaluran per bulan adalah sekitar 120 ribu ton,” beber Fadli.
“Jika angka ini dijadikan patokan, maka stok ideal di Bulog adalah sekitar 720 ribu ton. Ini adalah angka ideal,” tukasnya.
Masalahnya adalah situasi saat ini jauh dari ideal apalagi di tengah konflik Rusia-Ukraina dan meningkatnya ketegangan global belakangan ini.