Menimbang Investasi di Tahun 2023, Pilih Saham Atau Obligasi?
Adapun pasar saham hanya turun 13,7%. Penurunan tajam yang terjadi tahun lalu akan membuat investor bisa membeli obligasi dengan diskon besar.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM -- Pada masa resesi yang diperkirakan terjadi tahun ini, pasar obligasi secara global dianggap prospektif.
Obligasi dianggap lebih menarik daripada saham dan bakalan populer di kalangan investor.
Pada 2022 lalu, nilai obligasi korporasi turun hampir 17 persen menjadi US$ 2,6 triliun, menurut data Bloomberg. Utang perusahaan blue chip mencatat rekor terburuk.
Baca juga: Suku Bunga Obligasi Jepang Naik Jadi 0,545 Persen, Pertama Kali Dalam 7 Tahun 7 Bulan Terakhir
Adapun pasar saham hanya turun 13,7%. Penurunan tajam yang terjadi tahun lalu akan membuat investor bisa membeli obligasi dengan diskon besar.
Tahun 2022, rata-rata obligasi korporasi bereiko rendah dihargai 90 sen dalam dollar, sedangkan dua tahun lalu diperdagangan sekitar 110 sen.
Ahli Strategi Bank of Amerika Corp. melihat, perusahaan yang punya rating kredit tinggi akan menggunakan uang cadangan untuk mengurangi utang saat ekonomi melemah daripada melakukan buyback saham.
"Ini jadi hal positif bagi pemegang obligasi perusahaan tersebut. Prospek perlambatan ekonomi akan membuat keuntungan korporasi melambat dan itu akan meredupkan prospek saham," tulisnya seperti dikutip Kontan dari Bloomberg.
Jika resesi mendorong perusahaan yang lebih berisiko menuju potensi kebangkrutan maka pemegang saham berpotensi terhapus.
Sementara pemegang obligasi biasanya memulihkan setidaknya sebagian dari investasinya.
Manager Investasi Swiss UBS Group AG memprediksi akan terjadi peluang sekali dalam satu dekade untuk kredit.
Baca juga: Investasi Obligasi Pemerintah dan Reksa Dana Pendapatan Tetap Dinilai Lebih Aman Saat Terjadi Resesi
Ahli strategi Bank of Amerika memperkirakan total pengembalian, terutama apresiasi haraga plus bunga, mencapai 9% dari obligasi tingkat tinggi di AS tahun ini. Namun, itu bukan berarti tidak ada resiko.
Meski The Fed menunjukkan sinyal bahwa kenaikan suku bunga akan berakhir, tidak ada jaminan bahwa inflasi bisa dijinakkan.
Peningkatan lebih lanjut dapat memicu atau memperdalam resesi, yang berpotensi mendorong perusahaan yang terlilit utang besar ke dalam default.
Sementara Mike Scott, Manager Investasi Maan GLG memandang akan sulu bagi beberapa perusahaan dengan rating kredit rendah menghasilkan uang tunai pada semester pertama tahun ini di tengah perlambatan tingkat konsumsi.
Manajer investasi ini lebih memilih untuk fokus pada perubahan dramatis dalam imbal hasil obligasi.
Berakhirnya uang murah berarti perusahaan teraman sekarang menghasilkan imbal hasil yang lebih tinggi daripada obligasi sampah pada awal tahun lalu, memungkinkan investor untuk mengambil keuntungan yang layak sambil menghindari aset berisiko.
Baca juga: The Fed Kerek Suku Bunga Sebesar 75 Basis Poin, Analis: Berikan Tekanan ke IHSG dan Pasar Obligasi
Obligasi blue-chip secara global menghasilkan 5,1%, sedangkan obligasi sampah berada di 4,85% 12 bulan lalu. Itu keuntungan bagi dana pensiun khususnya.
Selama era pelonggaran kuantitatif, ketika bank sentral membeli obligasi untuk mempertahankan suku bunga rendah dan merangsang ekonomi, rencana pensiun harus mencari hasil di tempat lain dan berinvestasi dalam segala hal.
Suku bunga yang lebih tinggi telah menghasilkan banyak program pensiun keluar dari ekuitas dan masuk ke obligasi.
“Kalau melihat 22 tahun ke belakang, kredit AS murah. Itu sebabnya arus modal masuk lagi,”kata Matthew Rees, kepala strategi obligasi global Legal & General Investment Management Ltd.
Pasific Investmen Management Co juga melihat prospek obligasi cukup kuat tahun ini. Pasalnya, kemungkinan terjadinya resesi akan membuat aset beresiko seperti saham semakin menantang.
Perkiraan di Indonesia
Pasar obligasi Indonesia menjadi pilihan investasi yang menarik untuk tahun 2023. Pasalnya, kenaikan suku bunga dan peningkatan inflasi global diprediksi akan relatif terbatas.
Head of Fixed Income Trimegah Asset Management Darma Yudha mengatakan, perkiraan tersebut didasarkan pada tingkat inflasi yang sudah memperlihatkan perbaikan.
Pada November 2022, inflasi Amerika Serikat (AS) tercatat sebesar 7,1% year on year (yoy), turun dari bulan sebelumnya di 7,7% yoy.
Kondisi ini membuat kenaikan suku bunga bank sentral AS The Fed diperkirakan tidak akan seagresif tahun lalu.
Baca juga: Pemerintah Kanada Akan Terbitkan Obligasi Tenor 5 Tahun untuk Bantu Keuangan Ukraina
Konsensus pasar memperkirakan, The Fed hanya akan menaikkan suku bunga sekitar 50 bps-75 bps pada tahun 2023, jauh di bawah kenaikan sepanjang tahun 2022 yang mencapai 425 bps.
Selain itu, kondisi makroekonomi dalam negeri yang solid juga menarik minat investor asing untuk mengalirkan dananya ke pasar obligasi Indonesia.
"Fundamental makroekonomi Indonesia salah satu yang terbaik di regional. Banyak pihak memprediksi hampir tidak terjadi resesi di Indonesia," kata Darma saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (12/1).
Kebijakan pemerintah untuk memperluas sektor bisnis yang harus menempatkan devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri juga akan menjadi sentimen positif tambahan.
Menurut Darma, kebijakan tersebut akan membuat likuiditas di Indonesia semakin melimpah.
Berdasarkan data PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI), Indonesia Composite Bond Index (ICBI) terus melaju ke level tertinggi dalam 12 bulan terakhir.
Per Kamis (12/1), ICBI berada di level 348,45, naik 1,08% secara year to date dan 4,99% secara yoy.
Ekonom PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Suhindarto menyampaikan, asing mencatatkan pembelian yang signifikan di pasar obligasi pada awal tahun ini.
Baca juga: Miliki Risiko Rendah, Reksa Dana Pasar Uang dan Obligasi Banyak Diminati Masyarakat
Pada pekan ini sampai dengan Rabu (11/1), asing mencatatkan pembelian bersih sebesar US$ 775,5 juta atau sama dengan Rp 12,04 triliun.
"Sehingga secara neto selama tanggal 2-11 Januari 2023, asing telah melakukan beli bersih sebesar US$ 508,6 juta atau Rp 7,90 triliun dengan asumsi kurs Rp 15.527 per USD," tutur Suhindarto.
Lebih lanjut, Darma menyampaikan, obligasi negara maupun obligasi korporasi menjadi pilihan investasi yang menarik.
Pemilihan jenis obligasinya sangat bergantung dengan horizon waktu investasi dan ekspektasi return masing-masing investor.
Obligasi korporasi menawarkan kupon yang lebih tinggi, namun ada risiko kredit seperti gagal bayar.
Sementara obligasi negara tergolong lebih aman, tetapi volatilitas harganya lebih tinggi.
"Saya memprediksi, secara rata-rata obligasi Indonesia baik obligasi negara maupun korporasi dapat memberikan return 6%-8% pada tahun ini," ucap Darma.
Arus masuk dana asing potensial berlanjut ke depannya, asalkan tingkat inflasi global relatif terjaga dan kenaikan suku bunga lebih terbatas.
Keberhasilan implementasi DHE juga akan memancing dana asing masuk ke pasar obligasi Indonesia. (Kontan/Handoyo /Dina Mirayanti Hutauruk/Nur Qolbi/Wahyu Tri Rahmawati)