IESR: Energi Baru Bikin Indonesia Masuk Jebakan Infrastruktur Energi Fosil
Teknologi yang disebut 'energi baru' saat ini bukanlah barang baru, karena sudah ada sejak beberapa dekade yang lalu.
Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masuknya energi baru dinilai akan membuat Indonesia terjebak dengan infrastruktur energi fosil.
Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo berpendapat, teknologi yang disebut 'energi baru' saat ini bukanlah barang baru, karena sudah ada sejak beberapa dekade yang lalu.
"Contohnya teknologi gasifikasi dan likuifaksi batu bara yang sudah dipakai Jerman sejak perang dunia kedua. Lalu, carbon capture and storage sudah diuji coba di PLTU di Kanada dan Amerika, tapi gagal," ujarnya dalam konferensi pers “Salah Arah RUU EBET” di kawasan Cikini, Jakarta, Senin (6/2/2023).
Karena itu, dukungan terhadap energi baru ini dinilainya memberikan sinyal untuk mempertahankan energi fosil seperti batu bara lebih lama di sistem energi.
"Kemudian, juga menggantungkan dekarbonisasi pada opsi yang belum proven. Padahal, ada energi terbarukan yang sudah siap dan lebih murah untuk dimanfaatkan,” kata Deon.
Pada tempat sama, Juru Kampanye Energi Terbarukan Trend Asia Beyrra Triasdian, mengatakan, jenis ‘energi baru’ bukanlah sumber energi yang patut didorong untuk transisi energi berkelanjutan.
Sumber energi baru seperti batu bara bukan hanya berisiko tinggi terhadap lingkungan, tetapi juga membebani keuangan negara.
Baca juga: Pemanasan Global Kian Buruk, Peralihan Konsumsi Energi Fosil ke EBT Jadi Keniscayaan
Gasifikasi batu bara, misalnya, diperkirakan akan merugikan negara sebesar 377 juta dolar Amerika Serikat (AS) per tahun.
Selain itu, pilihan energi terbarukan seharusnya mendorong transisi energi berkeadilan dan tidak memicu pemanfaatan sumber daya alam yang berpotensi merusak lingkungan.
Baca juga: Inggris Percepat Transisi ke Penggunaan Energi Terbarukan
Beyrra menjelaskan, biomassa pelet kayu memiliki potensi besar deforestasi ketika digunakan untuk memenuhi co-firing PLTU, sehingga seharusnya tidak direkomendasikan sebagai energi terbarukan.
Sementara, karbon dioksida (CO2) dari deforestasi yang lepas ke atmosfer tidak serta-merta bisa diserap pohon.
Sebaliknya, pembakaran biomassa hutan menciptakan 'utang karbon' atau kelebihan karbon di atmosfer.
“Pembahasan tentang energi baru dan beberapa jenis energi terbarukan menjadi tidak relevan dalam RUU EBET ini. Pemerintah dan DPR seharusnya fokus pada substansi energi terbarukan yang mendukung penurunan emisi karbon, bukan sebaliknya,” pungkas Beyrra.