Perang Rusia-Ukraina Bikin Mata Uang Berbagai Negara Melemah Terhadap Dolar AS
Invasi Rusia ke Ukraina berdampak pada puluhan mata uang sejumlah negara melemah terhadap dolar AS di 2022 yang mengakibatkan naiknya biaya impor.
Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, CAPE TOWN - Perang Rusia dan Ukraina hampir berkecamuk selama satu tahun. Rusia mengirim tank dan pasukannya ke Ukraina pada 24 Februari 2022, dalam apa yang menjadi awal invasi besar-besaran Moskow ke Kyiv.
Selain ribuan kematian warga sipil, jutaan pengungsi, dan kerusakan infrastruktur yang luas di Ukraina, negara-negara yang jauh di luar perbatasannya ikut merasakan dampak perang yang merugikan.
Dikutip dari Al Jazeera, invasi Rusia ke Ukraina berdampak pada puluhan mata uang sejumlah negara melemah terhadap dolar AS pada 2022, yang mengakibatkan naiknya biaya impor.
Pemilik perusahaan peralatan rumah tangga di Cape Town, Afrika Selatan, Luc Verfaille mengatakan “untuk menyerap biaya yang lebih tinggi dari depresiasi rand (mata uang Afrika Selatan), kami harus memotong biaya overhead kami, termasuk staf”.
Mengingat interaksi yang kompleks antara geopolitik, harga komoditas, dan pasar keuangan, invasi Rusia mengirim gelombang kejutan ke seluruh ekonomi global, termasuk negara-negara berkembang.
Implikasi baik di dalam maupun di antara negara-negara berkembang diketahui memang bervariasi. Namun, ada beberapa tantangan umum, termasuk dari harga komoditas yang lebih tinggi.
Bahkan sebelum perang, pemulihan global dari COVID-19 mengguncang pasar komoditas. Permintaan yang terpendam dari lockdown secara nasional dan program stimulus ekonomi mendorong kenaikan harga yang cepat. Tren ini kemudian diperkuat oleh perang Rusia-Ukraina.
Importir Energi dan Makanan Paling Terpukul
Perebutan pasokan gas alam cair (LNG) baru di Eropa memicu kenaikan harga di pasar pengiriman (atau spot). Harga spot patokan untuk LNG Asia mencapai rekor tertinggi tahun lalu, membuat banyak negara berkembang di kawasan ini kekurangan listrik.
Baca juga: Kamala Harris: Rusia Telah Lakukan Kejahatan terhadap Kemanusiaan
Pengimpor energi seperti Pakistan dan Bangladesh telah "bertahan, tetapi tidak mampu membayar kargo spot sebanyak negara-negara Eropa yang kaya," kata direktur global ekonomi makro, perdagangan dan investasi di Bank Dunia, Marcello Estevao.
Meskipun perkiraan bervariasi, posisi cadangan devisa Pakistan mungkin cukup untuk menutupi sekitar tiga minggu impor energinya dengan harga saat ini.
“Di satu sisi, negara-negara pengimpor energi telah tertangkap. Beberapa mungkin akan dipaksa melakukan penghematan,” ungkap Estevao.
Baca juga: Blinken Peringatkan Wang Yi Soal Konsekuensi Jika China Mendukung Rusia
“Di sisi lain, eksportir hidrokarbon di Timur Tengah dan Afrika mendapat dorongan dari harga energi yang lebih tinggi… Terutama yang memiliki kapasitas cadangan untuk meningkatkan produksi," sambungnya.
Untuk beberapa pengekspor energi, seperti Nigeria dan Angola, harga minyak yang lebih tinggi sebagian diimbangi oleh kenaikan biaya pemeliharaan subsidi bensin yang mahal. Sementara importir minyak dengan subsidi bensin, seperti Kenya dan Ethiopia, bernasib lebih buruk.
Baca juga: Jadi Mata-mata Rusia, Mantan Satpam Kedutaan Inggris di Jerman Dihukum 13 Tahun Penjara
Masalah serupa telah muncul di negara-negara dengan program subsidi pangan yang besar. Sebelum perang, Rusia dan Ukraina termasuk di antara pemasok jelai, jagung, dan biji bunga matahari terbesar di dunia. Pengiriman pasokan ini dan bahan pokok lainnya sangat terpengaruh oleh invasi Rusia.
Kedua negara tersebut menyumbang hampir 30 persen dari ekspor gandum global pada 2021. Tetapi karena blokade Rusia terhadap pelabuhan Laut Hitam Ukraina, rute pengiriman utama untuk biji-bijian, harga gandum naik 35 persen pada 2022, mencapai rekor tertinggi di bulan Maret.
Negara-negara seperti Tunisia, Maroko, dan Mesir, salah satu importir gandum terbesar di dunia, sangat terpukul oleh invasi Rusia ke Ukraina.
Kira-kira dua pertiga penduduk Mesir menerima lima potong roti, yang dikenal sebagai eish baladi, setiap harinya, dengan biaya hanya 0,5 dolar AS sebulan, jauh di bawah harga pasar. Perbedaannya ditutupi oleh program subsidi roti, yang merugikan pemerintah sebesar 2,8 miliar dolar AS pada tahun lalu.
Juni lalu, menteri keuangan Mesir mencatat kenaikan harga gandum akan menaikkan biaya program subsidi roti negara sebesar 1,5 miliar dolar AS pada 2022-2023.
Tertekan di bawah beban program makanan mahal, pemerintah Mesir baru-baru ini terpaksa menerima pinjaman 3 miliar dolar AS dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Seperti program IMF lainnya, pemberian pinjaman tergantung pada “konsolidasi fiskal”. Asalkan pemerintah Mesir mengikuti program pemotongan belanja negara, maka akan mendapat cicilan pinjaman rutin selama empat tahun ke depan.
Dunia Dilanda Kelaparan Parah
“Di negara-negara dengan subsidi gandum yang sangat besar, kenaikan harga menimbulkan biaya kemanusiaan dan fiskal. Namun secara lebih umum, kelaparan dunia tetap parah,” kata kepala ekonom di Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), Maximo Torero.
Pada tahun 2022, indeks harga pangan tahunan FAO, yang mengukur perubahan harga pangan internasional, naik 14,3 persen dari tahun sebelumnya dan 46 persen lebih tinggi dari 2020.
Baca juga: Harga Gandum Turun, Setelah Rusia Kembali ke Kesepakatan Ekspor dari Laut Hitam Ukraina
Akibatnya, 222 juta orang di seluruh dunia mengalami kerawanan pangan akut pada tahun lalu.
“Masyarakat internasional perlu mengadopsi pendekatan portofolio untuk meningkatkan ketahanan pangan di negara berkembang,” kata Torero merujuk pada badan perdagangan internasional, bank pembangunan multilateral, dan bahkan perusahaan swasta.
“Pertama, skema asuransi pertanian dan bencana dapat ditingkatkan. Kedua, sumber impor pangan harus didiversifikasi dan pembatasan ekspor dihilangkan. Dan ketiga, kita dapat membangun kembali dengan lebih baik dengan berinvestasi lebih banyak dalam sistem pertanian negara berkembang,” sambungnya.
Pinjaman IMF Jadi Makin Mahal
Sementara itu, inflasi akibat perang mendorong Federal Reserve AS (The Fed), serta bank sentral terkemuka lainnya, menaikkan suku bunga.
Selama sebelas bulan terakhir, The Fed menaikkan suku bunga acuannya sekitar 4,5 poin persentase dalam upaya untuk memperlambat kenaikan harga.
Tertarik dengan imbal hasil yang lebih tinggi di AS, investor menarik dana mereka dari aset keuangan negara berkembang.
Eksodus keuangan menyebabkan depresiasi mata uang yang meluas bagi negara-negara berkembang terhadap dolar AS. Selain harga impor yang lebih tinggi, jatuhnya mata uang suatu negara juga membuat pembayaran utang luar negeri menjadi lebih mahal.
Untuk menutupi kekurangan, negara berkembang seperti Brasil dan India menerbitkan obligasi dalam mata uang mereka sendiri. Dalam langkah menghentikan depresiasi, mereka juga menarik sejumlah besar cadangan devisa. Tetapi bagi sebagian besar negara berkembang, langkah-langkah ini bukanlah suatu pilihan.
Dengan sedikit jalan untuk meminjam dari pemberi pinjaman swasta internasional, badan-badan resmi seperti IMF turun tangan untuk mengatasi masalah tersebut.
Analisis pinjaman IMF oleh Universitas Boston menunjukkan, pada akhir tahun 2022, volume pinjaman yang disalurkan oleh IMF mencapai 95 miliar dolar AS dalam 27 program terpisah.
Ini lebih besar dari kredit terutang pada akhir tahun 2021, yang sudah menjadi rekor tahunan bersejarah.
“Masalah bagi negara-negara berkembang”, seperti yang diamati oleh mantan Menteri Keuangan Argentina Martin Guzman, “adalah bahwa pinjaman IMF juga menjadi lebih mahal.”
Guzman mengacu pada mata uang cadangan internasional IMF, yang dikenal sebagai Special Drawing Rights (SDR). Tingkat SDR adalah rata-rata tertimbang dari biaya pinjaman dari lima negara yang membentuk mata uang cadangan IMF.
“Tahun 2022, suku bunga pinjaman IMF naik seiring dengan kondisi pengetatan moneter di empat dari lima negara tersebut,” ujarnya merujuk pada kawasan AS, Inggris, Jepang, China, dan Euro.
Guzman menambahkan, "pinjaman IMF ke negara-negara miskin harus menghindari memicu siklus inflasi" dari ekonomi maju yang merupakan keranjang SDR dan berfokus pada tantangan neraca pembayaran di negara-negara peminjam.
“Untuk mengatasi sejumlah besar default negara selama beberapa tahun mendatang, harus ada otoritas utang independen sebagai lawan dari lembaga pemberi pinjaman seperti IMF yang dapat memimpin restrukturisasi dengan cara yang tepat waktu dan efektif," ujar Guzman.
Bersama dengan pemulihan yang tidak merata dari COVID-19, lonjakan harga pangan dan energi serta depresiasi mata uang yang meluas, perang di Ukraina menambah tekanan bagi lingkungan yang sudah tidak bersahabat bagi negara-negara berkembang yang terlilit utang.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.