Analis: Efek Kebangkrutan Silicon Valley Bank Kecil Terhadap Pasar Keuangan Indonesia
Efek kebangkrutan Silicon Valley Bank (SVB) terhadap pasar keuangan di Indonesia diyakini tidak akan signifikan.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Efek kebangkrutan Silicon Valley Bank (SVB) terhadap pasar keuangan di Indonesia diyakini tidak akan signifikan, meski pada kenyataannya kebangkrutan SVB membuat pasar keuangan dunia terguncang.
SVB kolaps setelah saham bank ini anjlok 66 persen dan gagal mendapatkan tambahan dana dalam 48 jam di tengah penarikan besar-besaran. Kejadian ini juga membuat SVB ditutup oleh otoritas berwenang di California, AS pada Jumat (10/3/2023).
Research & Consulting Manager PT Infovesta Utama Nicodimus Kristiantoro mengatakan bahwa tutupnya SVB menjadi alarm untuk investor bahwa dampak kenaikan Fed Funds Rate (FFR) di AS semakin nyata.
Dia berpendapat, kejatuhan SVB meningkatkan risiko ke pasar saham AS.
"Terbukti Jumat kemarin Wall Street juga turun dalam, dan kemungkinan berlanjut hingga Senin," ujar Nico seperti dikutip Kontan. Akhir pekan kemarin, indeks bursa saham Wall Street anjlok lebih dari 1 persen.
Meski begitu, efeknya ke pasar Indonesia dinilai masih kecil. Menurut dia, efeknya cenderung ke efek psikologis akibat peningkatan risiko di pasar saham global. Alhasil, investor saham domestik bisa melakukan panic selling.
Nico memperkirakan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan anjlok pada Senin (13/3/2023) lantaran isu SVB. Namun, penurunannya diprediksi menyesuaikan penurunan Wall Street kemarin Jumat, sekitar 0,5 sampai 1 persen.
Untuk ke depan, pihaknya masih menunggu otoritas terkait mengatasi masalah tersebut. Menurut Nico, jika nantinya memang berdampak sistemik terhadap sektor keuangan AS, maka akan mengulang krisis tahun 2008.
"Namun, saya menilai sejauh ini belum berdampak sistemik kejadian collapse SVB ini," kata Nico.
CEO Advisor.id Praska Putrantyo berpandangan, kejatuhan SVB telah diantisipasi pasar. Ini mengingat maraknya perusahaan rintisan (startup) yang mengalami masalah kebangkrutan dan gelombang PHK, serta kinerja Softbank yang merugi sepanjang 2022 akibat suntikan dana pada startup.
Dampak ke pasar Indonesia diperkirakan tidak terlalu signifikan.
"Apalagi hal tersebut lebih karena lembaga keuangan ini bergerak pada penyaluran dana pada perusahaan startup yang memang dominan bergerak pada ekosistem digital," terang Praska.
Praska pun menilai jatuhnya SVB tidak berpotensi mengulangi krisis Lehman Brother pada 2008.
Sebab, kondisi bisnis di sektor riil yang konvensional masih berjalan dengan baik, terlihat pada laju inflasi yang masih tinggi serta kondisi indeks manufaktur dan jasa PMI yang kembali membaik.
Untuk pasar Indonesia, kejatuhan SVB dinilai sudah tercermin pada koreksi pasar kemarin Jumat.
"Apalagi sembari menunggu the Fed Rate lantaran saat ini pasar lebih menunggu progress ekonomi di sektor riil yang masih menunjukkan akselerasi," sambung Praska.
Menurut dia, jika IHSG jatuh maka level support berada di 6.650 dan sifatnya lebih temporer sehingga ada kemungkinan pasar kembali rebound. "Sekarang musim dividen final dan publikasi laporan keuangan," pungkas Praska.
Laporan Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Sumber: Kontan