Beban Utang Indonesia Dianggap Tak Masuk Akal
Hardjuno Wiwoho menegaskan pertumbuhan utang pemerintah Indonesia bisa dikatakan sudah tidak masuk akal.
Penulis: Fersianus Waku
Editor: Wahyu Gilang Putranto
“Maka tak heran GDP perkapita Indonesia jauh di bawah Malaysia dan juga Thailand. Krisis 1998 perbankan kita sudah hancur karena digunakan pemilik dan oligarki dalam kejahatan BLBI dan Obligasi Rekap BLBI,” jelas Hardjuno.
Hardjuno menjelaskan kredit property adalah kredit yang dikucurkan kepada konglomerat pengembang super blok mewah, mal-mal mewah, apartemen, dan kawasan-kawasan elit, yang sifatnya spekulatif.
"Berbeda dengan property kelas bawah yang sampai hari ini masih mengalami backlog (kekurangan suplai)," ucapnya.
Terus Membengkak
Lebih lanjut, Hardjuno mengatakan saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY lengser, meninggalkan utang sebesar Rp 2.700 triliun.
Sementara 9 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menambah utang sebesar Rp 5.300-an triliun.
Bahkan hingga saat ini, kata Hardjuno, utang pemerintah Indonesia per akhir Desember 2022 mencapai Rp 7.733,99 triliun.
Posisi utang pemerintah tersebut bertambah Rp 825,03 triliun dibanding akhir 2021 yang sebesar Rp 6.908,87 triliun.
Diperkirakan pada hari ini utang pemerintah sudah di atas Rp 8.000 triliun karena tiap kuartal Bank Indonesia terus membeli Surat Berharga Negara tak kurang dari Rp 200 triliun rupiah.
Dengan utang sebanyak itu dan jumlah penduduk sebanyak 275 juta jiwa, artinya setiap penduduk bahkan bayi baru lahir di Indonesia sudah menanggung utang sebanyak Rp 29 juta.
Sementara GDP perkapita tercatat 3.892 dolar AS atau Rp 60 juta pertahun atau Rp 5 juta per bulan.
Artinya, setiap penduduk, dari bayi, anak kecil, ibu rumah tangga, pengangguran, mahasiswa, ayah pekerja, memiliki penghasilan Rp 5 juta sebulan.
"Jika rata-rata keluarga di Indonesia memiliki anggota 4 orang saja maka setiap keluarga Indonesia rata-rata memiliki penghasilan Rp 20 juta," tegas Hardjuno.
Saat utang yang ditanggung tiap-tiap penduduk angkanya sudah pasti dan harus dibayar, pendapatan Rp 60 juta setiap bayi yang baru lahir adalah angka yang distortif alias karena GDP per kapita tidak memisahkan apakah penghasilan itu dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan asing atau lokal.